Feeds:
Pos
Komentar

contoh

aaaaaaaaaaaabbbbbbbbbbbbbbbbbbbcccccccccccccccccccccccddddddddddddddddddddd

 

Walimah

Walimah


 

1.Dari Abu Hurairah r.a. lagi dari Nabi s.a.w., sabdanya: “Seburuk-buruk makanan ialah makanan walimah yang tercegah – yakni tidak diundang – orang yang ingin mendatanginya iaitu kaum fakir-miskin, sebab memerlukannya, tetapi diundanglah orang yang tidak ingin mendatanginya – iaitu kaum kaya raya sebab sudah sering makan enak-enak. Namun demikian barangsiapa yang tidak mengabulkan undangan walimah – pengantin – itu, maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan RasulNya.” (Riwayat Muslim)

2.Dalam riwayat kedua kitab shahih Bukhari dan Muslim juga disebutkan demikian iaitu dari Abu Hurairah r.a., Nabi s.a.w. bersabda:”Seburuk-buruk makanan ialah makanan walimah yang diundanglah ke situ orang-orang kaya dan ditinggalkanlah orang-orang fakir-miskin.”

 

 

Risalah nikah_3

Suami Istri,Pernikahan,Perceraian


 

“Kaum lelaki itu adalah pemimpin-pemimpin atas kaum wanita – isteri- isterinya, kerana Allah telah melebihkan sebahagian mereka dari yang lainnya, juga kerana kaum lelaki itu telah menafkahkan dari sebahagian hartanya. Oleh sebab itu kaum wanita yang shalihah ialah yang taat serta menjaga dirinya di waktu ketiadaan suaminya, sebagaimana yang diperintah untuk menjaga dirinya itu oleh Allah.” (an-Nisa’:34)

 

Pergaulan Suami & Istri

1. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Jikalau seseorang lelaki mengajak isterinya ke tempat tidurnya, lalu isterinya itu menolak, kemudian suami itu bermalam dalam keadaan marah, maka isterinya itu dilaknat oleh para malaikat sehingga waktu paginya.” (Muttafaq ‘alaih)

 

2.Dari Abu Hurairah r.a. bahawsanya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tidak halallah bagi seseorang isteri kalau ia berpuasa, sedangkan suaminya menyaksikan – yakni ada di rumah – melainkan dengan izin suaminya tersebut. Juga tidaklah dianggap sudah mendapat izin kalau ia dalam rumah suaminya itu, kecuali izin suaminya sendiri.” (Muttafaq ‘alaih)

3.Dari Abu Hurairah r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda:”Jikalau seseorang lelaki mengajak isterinya ke tempat tidurnya, tetapi isteri itu tidak mendatangi ajakannya tadi, lalu suami itu menjadi marah pada malam harinya itu, maka para malaikat melaknati – mengutuk – isteri itu sampai waktu pagi.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim yang lain lagi, disebutkan demikian: “Rasulullah s.a.w. bersabda:”Apabila seseorang isteri meninggalkan tempat tidur suaminya pada malam harinya, maka ia dilaknat oleh para malaikat sampai waktu pagi.”

Dalam riwayat lain lagi disebutkan sabda Rasulullah s.a.w. demikian:

Demi Zat yang jiwaku ada di dalam genggaman kekuasaanNya, tiada seseorang lelaki pun yang mengajak isterinya untuk datang di tempat tidurnya, lalu isteri itu menolak ajakannya, melainkan semua penghuni yang ada di langit – yakni para malaikat – sama murka pada wanita itu sehingga suaminya rela padanya – yakni mengampuni kesalahannya.”

4. Dari Abu Hurairah r.a. pula bahawasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:”Tiada halal – yakni haram – bagi seorang isteri untuk berpuasa – sunnat – sedangkan suaminya menyaksikan – yakni ada, melainkan dengan izin suaminya itu dan tidak halal mengizinkan seseorang lelaki lain pun untuk masuk rumahnya – baik lelaki lain mahramnya atau bukan, kecuali dengan izin suaminya.” (Muttafaq ‘alaih)

5. Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma dari Nabi s.a.w. sabdanya:”Semua orang dari engkau sekalian itu adalah pemimpin dan semuanya saja akan ditanya perihal pimpinannya. Seorang amir – pemerintah – adalah pemimpin, orang lelaki juga pemimpin pada keluarga rumahnya, orang perempuan pun pemimpin pada rumah suaminya serta anaknya. Maka dari itu semua orang dari engkau sekalian itu adalah pemimpin dan semua saja akan ditanya perihal pimpinannya.” (Muttafaq ‘alaih)

6. Dari Abu Ali, iaitu Thalq bin Ali r.a. bahawasanya Rasulullah s.a.w. bersabda:”Jikalau seseorang lelaki mengajak isterinya untuk keperluannya – masuk ke tempat tidur – maka wajiblah isteri itu mendatangi – mengabulkan – kehendak suaminya itu, sekalipun di saat itu isteri tadi sedang ada di dapur.”Diriwayatkan oleh Imam-Imam Tirmidzi dan an-Nasa’i dan Tirmidzi berkata bahawa ini adalah Hadis hasan.

7. Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w. sabdanya: “Andaikata saya boleh menyuruh seseorang untuk bersujud kepada orang lain, nescayalah saya akan menyuruh isteri supaya bersujud kepada suaminya.”Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahawa ini adalah Hadis hasan shahih.

8. Dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda:”Mana saja wanita yang meninggal dunia sedang suaminya rela padanya – tidak sedang mengkal padanya, maka wanita itu akan masuk syurga.”Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahawa ini adalah Hadis hasan.

9. Dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma dari Nabi s.a.w., sabdanya:”Saya tidak meninggalkan sesuatu fitnah sepeninggalku nanti yang fitnah itu Iebih besar bahayanya untuk dihadapi oleh kaum lelaki, Iebih hebat dari fitnah yang ditimbulkan oleh kerana persoalan orang-orang perempuan.” (Muttafaq ‘ala ih)

10. Dari Mu’az bin Jabal r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: “Tidaklah seseorang isteri itu menyakiti pada suaminya di dunia – baik hati atau badannya, melainkan isterinya yang dari bidadari yang membelalak matanya itu berkata: “Janganlah engkau menyakiti ia, semoga engkau mendapat siksa Allah. Hanyasanya ia di dunia itu adalah sebagai tamu bagimu, yang hampir sekali akan berpisah denganmu untuk menemui kita.” Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahawa ini adalah Hadis hasan.

Thalaq

1.) Dari Asiyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, Tidak syah talak dan memerdekakan budak dalam keadaan marah?. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud, Hakim).

 

2.) Dari Ibnu Abbas RA: Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata: ?wahai Rasulullah, aku tidak mencelanya (Tsabit) dalam hal akhlaknya maupun agamanya, akan tetapi aku benci kekufuran (karena tidak mampu menunaikan kewajibannya) dalam Islam? Maka Rasulullah SAW berkata padanya: Apakah kamu mengembalikan pada suamimu kebunnya? Wanita itu menjawab: ia. Maka Rasulullah SAW berkata kepada Tsabit: terimalah kebun tersebut dan ceraikanlah ia 1 kali talak (HR Bukhori, Nasa?y dan Ibnu Majah. Nailul Authar 6/246)

3.) Ibnu umar telah menalak istrinya  yang sedang haid maka umar menanyakan hal itu kepada rasulullah saw , beliau berkata kepada umar” suruhlah anakmu itu supaya rujuk kepada istrinya , kemudian hendaklah  ia tahan dahulu sampai perempuan itu itu suci kemudaian ia haid lagi kemudian ia suci lagi sesudah itu kalau ia (ibnu umar) menghendaki  teruskan perkawinannya dan itulah yang baik . jika ia menghendaki boleh ditalaknya sebelum dicampurinya, demikian iddah yang diperintahkan Alloh swt,yang boleh padanya perempuan ditalak (Riwayat Bukhari dan muslim

 

 

Risalah nikah_2

NIKAH


 

Ya Allah berikanlah pada ku istri-istri / suami-suami,yang menjadikan permata hatiku,dan jadikanlah keluarga kami Imam bagi orang-orang yang bertakwa . ” ( Q.S Al Furqan 74 ).

 

?Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui.? (QS. An-Nuur : 32)

 

Defenisi Nikah :

Nikah menurut longistiknya adalah : Pelukan dan bersatu .Seperti kata,” Aku nikahkan pohon-pohon,maksudnya,aku menyatukan satu pohon dengan pohon yang lain,sehingga keduanya bersatu dan dapat menghasilkan.

Nikah juga dikatakan dengan ” ‘Aqad = Ikatan “,berarti  orang yang bila sudah menikah,berarti sudah ada ikatan

diantara keduanya.

 

Menurut Syara’ Nikah adalah : Suatu ikatan yang ditentukan oleh pembuatan hukum yang memungkinkan

lelaki untuk istimta’ ( mendapatkan kesenangan seksual ),dari istrinya begitu juga sebaliknya.

 

Rukun Nikah :

1 )Calon mempelai pria

2 ).Calon mempelai wanita.

3 ).Wali dari mempelai wanita

4 ).Ijab dan qabul.

5) Tujuan Pernikahan :

Profesor Doktor Su’ad Shaleh didalam bukunya ” Nidzamul usrah fil Islam ” ( Undang- undang Kekeluargaan dalam Islam ).mengatakan ada beberapa hal yang menjadi tujuan dalam perkawinan tersebut.

1 ),Untuk mengatur keseimbangan kekuatan sexual dalam diri seseorang.

2 ),Mendapatkan keturunan .

 

Wali nikah

1. Ayah kandung

 

2. Kakek, atau ayah dari ayahbr 3 Saudara (kakak / adik laki-laki) se-ayah dan se-ibu

4. Saudara (kakak / adik laki-laki) se-ayah saja

5. Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu

6. Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja

7. Saudara laki-laki ayah

8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah (sepupu)

9. Bila kesemuanya tidak ada lagi yang hidup atau beragama Islam, maka saat itu hakimlah yang menjadi wali.

 

HARAM NIKAH MUT’AH SAMPAI HARI KIAMAT:

 

Dari Rabi’ bin Sabrah Al-Juhaini r.a., bapanya mengabarkan kepadanya,bahawa dia pernah pergi bersama-sama Rasulullah saw(dalam peperangan menaklukkan Makkah). Rasulullah saw bersabda: ” Aku telah membolehkan nikah mut’ah. Sesungguhnya (mulai saat ini) Allah telah MENGHARAMKANNYA SAMPAI HARI KIAMAT NANTI.   Maka siapa yang masih punya isteri mut’ah, ceraikanlah dia dan janganlah kamu ambil kembali daripadanya apa-apa

yang telah kamu berikan kepadanya.”

 

Dari Rabi’ bin Sabrah Al-Juhaini r.a, dari bapanya katanya: ” Rasulullah  saw telah melarang nikah melakukan nikah mut’ah. Sabdanya : Ketahuilah !  Nikah mut’ah HARAM MULAI HARI INI SAMPAI KIAMAT. Siapa yang telah memberi sesuatu kepada perempuan yang dinikahinya secara mut’ah,  janganlah mengambilnya kembali.”

 

Dari Ali bin Abi Talib r.a. katanya: Ketika terjadi peperangan Khaibar, Rasulullah saw MELARANG melakukan nikah mut’ah dan memakan daging kaldai jinak.” Dari Terjemahan Hadis Shahih Muslim : Al-Imam Nawawi Jilid III

 

HUKUM MENIKAH

 

Dari Jabir bin Abdillah bahwa saya mengabari Rasulullah SAW,?Ya Rasulullah SAW, aku baru saja menikah?. Beliau balik bertanya,?Kamu sudah zawaj ??. ?Ya?, saja menjawab. ?Dengan gadis atau janda??, beliua bertanya lagi. ?Dengan janda?, jawabku. Lalu beliau menjawab,?Mengapa bukan dengan perawan ? Sehingga kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu.  (HR. Bukhari 4846).

 

Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,?Siapapun wanita yang menikah tanpa izin dari walinya, maka nikahnya batil, maka nikahnya batil, maka nikahnya batil. ?Sultan adalah wali bagi wanita yang tidak punya wali.  (HR. Ahmad 6/166, Abu Daud 2083, At-Tirmizy 1102, Ibnu Majah 1879)

 

 

Dari Aisyah ra berkata,”Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,”Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal”.  (HR. Tabarany dan Daruquthuny).

 

Juga dengan hadits berikut ini :

 

Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,”Istriku ini seorang yang suka berzina”. Beliau menjawab,”Ceraikan dia”. “Tapi aku takut memberatkan diriku”. “Kalau begitu mut’ahilah dia”. (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i)

 

DariAbi Hurairah rasulullah SAW bersabda : ” Salaasun jidduhunna jiddun, wahazluhunna jiddun “. Tiga hal yang sungguh-sungguh itu menjadi benar ( sungguh2), dan CANDA itu menjadi sungguh-sungguh.tiga hal itu adalah : Nikah, Thalaq dan Ruju’.(H.R At Tirmidzi ).

 

Dari Abi Buraidah bin Abi Musa dari Ayahnya berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,”Tidak ada nikah kecuali dengan wali”. (HR Ahmad dan Empat)

 

Dari Al-Hasan dari Imran marfu’an,”Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi”. (HR Ahmad).

 

Hadis riwayat   Anas ra.:

Bahwa beberapa orang sahabat Nabi saw. bertanya secara diam-diam kepada istri-istri Nabi saw. tentang amal ibadah beliau. Lalu di antara mereka ada yang mengatakan: Aku tidak akan menikah dengan wanita. Yang lain berkata: Aku tidak akan memakan daging. Dan yang lain lagi mengatakan: Aku tidak akan tidur dengan alas. Mendengar itu, Nabi saw. memuji Allah dan bersabda: Apa yang diinginkan orang-orang yang berkata begini, begini! Padahal aku sendiri salat dan tidur, berpuasa dan berbuka serta menikahi wanita! Barang siapa yang tidak menyukai sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku

Nomor hadis dalam kitab Sahih Muslim [Bahasa Arab saja]: 2487

 

Hadis riwayat   Sa`ad bin Abu Waqqash ra., ia berkata:

Rasulullah saw. melarang Usman bin Mazh`un hidup mengurung diri untuk beribadah dan menjauhi wanita (istri) dan seandainya beliau mengizinkan, niscaya kami akan mengebiri diri

Nomor hadis dalam kitab Sahih Muslim [Bahasa Arab saja]: 2488

 

Hadis riwayat   Abdullah bin Mas`ud ra., ia berkata:

Kami pergi berperang bersama Rasulullah saw. tanpa membawa istri lalu kami bertanya: Bolehkah kami mengebiri diri? Beliau melarang kami melakukan itu kemudian memberikan rukhsah untuk menikahi wanita dengan pakaian sebagai mahar selama tempo waktu tertentu lalu Abdullah membacakan ayat: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas

Nomor hadis dalam kitab Sahih Muslim [Bahasa Arab saja]: 2493

 

Hadis riwayat   Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:

Seorang yang akan memberikan pengumuman dari Rasulullah saw. keluar menghampiri kami dan berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. sudah mengizinkan kamu sekalian untuk menikahi kaum wanita secara mut`ah

Nomor hadis dalam kitab Sahih Muslim [Bahasa Arab saja]: 2494

 

Hadis riwayat   Ali bin Abu Thalib ra.:

Bahwa Rasulullah saw. melarang untuk menikahi wanita secara mut`ah dan memakan daging keledai piaraan ketika perang Khaibar

Nomor hadis dalam kitab Sahih Muslim [Bahasa Arab saja]: 2510

 

Hadis riwayat   Abu Hurairah ra., ia berkata:

Rasulullah saw. bersabda: Seorang wanita dan bibinya, dari pihak ayah atau ibu, tidak boleh dihimpun dalam satu ikatan perkawinan

Nomor hadis dalam kitab Sahih Muslim [Bahasa Arab saja]: 2514

 

Risalah Nikah

8. Kitab Nikah

 

Hadits ke-1
Abdullah Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-2
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda: “Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan. Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-3
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: “Nikahilah perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat.” Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

Hadits ke-4
Hadits itu mempunyai saksi menurut riwayat Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu Hibban dari hadits Ma’qil Ibnu Yasar.

Hadits ke-5
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia.” Muttafaq Alaihi dan Imam Lima.

Hadits ke-6
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bila mendoakan seseorang yang nikah, beliau bersabda: “Semoga Allah memberkahimu dan menetapkan berkah atasmu, serta mengumpulkan engkau berdua dalam kebaikan.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.

Hadits ke-7
Abdullah Ibnu Mas’ud berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mengajari kami khutbah pada suatu hajat: (artinya = Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, kami meminta pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami. Barangsiapa mendapat hidayah Allah tak ada orang yang dapat menyesatkannya. Barangsiapa disesatkan Allah, tak ada yang kuasa memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba-Nya dan utusan-Nya) dan membaca tiga ayat. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits hasan menurut Tirmidzi dan Hakim.

Hadits ke-8
Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian tubuhnya yang menarik untuk dinikahi, hendaknya ia lakukan.” Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-9
Hadits itu mempunyai saksi dari hadits riwayat Tirmidzi dan Nasa’i dari al-Mughirah.

Hadits ke-10
Begitu pula riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari hadits Muhammad Ibnu Maslamah.

Hadits ke-11
Menurut riwayat Muslim dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada seseorang yang akan menikahi seorang wanita: “Apakah engkau telah melihatnya?” Ia menjawab: Belum. Beliau bersabda: “Pergi dan lihatlah dia.”

Hadits ke-12
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah seseorang di antara kamu melamar seseorang yang sedang dilamar saudaranya, hingga pelamar pertama meninggalkan atau mengizinkannya.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.

Hadits ke-13
Sahal Ibnu Sa’ad al-Sa’idy Radliyallaahu ‘anhu berkata: Ada seorang wanita menemui Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, aku datang untuk menghibahkan diriku pada baginda. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memandangnya dengan penuh perhatian, kemudian beliau menganggukkan kepalanya. Ketika perempuan itu mengerti bahwa beliau tidak menghendakinya sama sekali, ia duduk. Berdirilah seorang shahabat dan berkata: “Wahai Rasulullah, jika baginda tidak menginginkannya, nikahkanlah aku dengannya. Beliau bersabda: “Apakah engkau mempunyai sesuatu?” Dia menjawab: Demi Allah tidak, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: “Pergilah ke keluargamu, lalu lihatlah, apakah engkau mempunyai sesuatu.” Ia pergi, kemudian kembali dam berkata: Demi Allah, tidak, aku tidak mempunyai sesuatu. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Carilah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi.” Ia pergi, kemudian kembali lagi dan berkata: Demi Allah tidak ada, wahai Rasulullah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi, tetapi ini kainku -Sahal berkata: Ia mempunyai selendang -yang setengah untuknya (perempuan itu). Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apa yang engkau akan lakukan dengan kainmu? Jika engkau memakainya, Ia tidak kebagian apa-apa dari kain itu dan jika ia memakainya, engkau tidak kebagian apa-apa.” Lalu orang itu duduk. Setelah duduk lama, ia berdiri. Ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melihatnya berpaling, beliau memerintah untuk memanggilnya. Setelah ia datang, beliau bertanya: “Apakah engkau mempunyai hafalan Qur’an?” Ia menjawab: Aku hafal surat ini dan itu. Beliau bertanya: “Apakah engkau menghafalnya di luar kepala?” Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda: “Pergilah, aku telah berikan wanita itu padamu dengan hafalan Qur’an yang engkau miliki.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim. Dalam suatu riwayat: Beliau bersabda padanya: “berangkatlah, aku telah nikahkan ia denganmu dan ajarilah ia al-Qur’an.” Menurut riwayat Bukhari: “Aku serahkan ia kepadamu dengan (maskawin) al-Qur’an yang telah engkau hafal.”

Hadits ke-14
Menurut riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu beliau bersabda: “Surat apa yang engkau hafal?”. Ia menjawab: Surat al-Baqarah dan sesudahnya. Beliau bersabda: “Berdirilah dan ajarkanlah ia dua puluh ayat.”

Hadits ke-15
Dari Amir Ibnu Abdullah Ibnu al-Zubair, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sebarkanlah berita pernikahan.” Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-16
Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak sah nikah kecuali dengan wali.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban. Sebagian menilainya hadits mursal.

Hadits ke-17
Imam Ahmad meriwayatkan hadits marfu’ dari Hasan, dari Imran Ibnu al-Hushoin: “Tidak sah nikah kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi.”

Hadits ke-18
Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Perempuan yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil. Jika sang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib membayar maskawin untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, dan jika mereka bertengkar maka penguasa dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.” Dikeluarkan oleh Imam Empat kecuali Nasa’i. Hadits shahih menurut Ibnu Uwanah, Ibnu Hibban, dan Hakim.

Hadits ke-19
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diajak berembuk dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta izinnya.” Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana izinnya? Beliau bersabda: “Ia diam.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-20
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Seorang janda lebih berhak menentukan (pilihan) dirinya daripada walinya dan seorang gadis diajak berembuk, dan tanda izinnya adalah diamnya.” Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban

Hadits ke-21
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Perempuan tidak boleh menikahkan perempuan lainnya, dan tidak boleh pula menikahkan dirinya.” Riwayat Ibnu Majah dan Daruquthni dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.

Hadits ke-22
Nafi’ dari Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang perkawinan syighar. Syighar ialah seseorang menikahkan puterinya kepada orang lain dengan syarat orang itu menikahkan puterinya kepadanya, dan keduanya tidak menggunakan maskawin. Muttafaq Alaihi. Bukhari-Muslim dari jalan lain bersepakat bahwa penafsiran “Syighar” di atas adalah dari ucapan Nafi’.

Hadits ke-23
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa ada seorang gadis menemui Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam lalu bercerita bahwa ayahnya menikahkannya dengan orang yang tidak ia sukai. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memberi hak kepadanya untuk memilih. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Ada yang menilainya hadits mursal.

Hadits ke-24
Dari Hasan, dari Madlmarah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Seorang perempuan yang dinikahkan oleh dua orang wali, ia milik wali pertama.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits hasan menurut Tirmidzi.

Hadits ke-25
Dari Jabir Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Seorang budak yang menikah tanpa izin dari tuannya atau keluarganya, maka ia dianggap berzina.” Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Hibban.

Hadits ke-26
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak boleh dimadu antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ayahnya dan antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ibunya.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-27
Dari Utsman Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Orang yang sedang berihram tidak boleh menikah dan menikahkan.” Riwayat Muslim. Dalam riwayatnya yang lain: “Dan tidak boleh melamar.” Ibnu Hibban menambahkan: “Dan dilamar.”

Hadits ke-28
Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menikahi Maimunah ketika beliau sedang ihram. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-29
Menurut riwayat Muslim dari Maimunah sendiri: Bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menikahinya ketika beliau telah lepas dari ihram.

Hadits ke-30
Dari Uqbah Ibnu Amir bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya syarat yang paling patut dipenuhi ialah syarat yang menghalalkan kemaluan untukmu.” Muttafaq Alaihi

Hadits ke-31
Salamah Ibnu Al-Akwa’ berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah memberi kelonggaran untuk nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Mekkah), kemudian bleiau melarangnya. Riwayat Muslim.

Hadits ke-32
Ali Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang nikah mut’ah pada waktu perang khaibar. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-33
Dari Ali Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang menikahi perempuan dengan mut’ah dan memakan keledai ngeri pada waktu perang khaibar. Riwayat Imam Tujuh kecuali Abu Dawud.

Hadits ke-34
Dari Rabi’ Ibnu Saburah, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Aku dahulu telah mengizinkan kalian menikahi perempuan dengan mut’ah dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan cara itu hingga hari kiamat. maka barangsiapa yang masih mempunyai istri dari hasil nikah mut’ah, hendaknya ia membebaskannya dan jangan mengambil apapun yang telah kamu berikan padanya.” Riwayat Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.

Hadits ke-35
Ibnu Mas’ud berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melaknat muhallil (laki-laki yang menikahi seorang perempuan dengan tujuan agar perempuan itu dibolehkan menikah kembali dengan suaminya) dan muhallal lah (laki-laki yang menyuruh muhallil untuk menikahi bekas istrinya agar istri tersebut dibolehkan untuk dinikahinya lagi).” Riwayat Ahmad, Nasa’i, Dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi.

Hadits ke-36
Dalam masalah ini ada hadits dari Ali yang diriwayatkan oleh Imam Empat kecuali Nasa’i.

Hadits ke-37
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Orang berzina yang telah dicambuk tidak boleh menikahi kecuali dengan wanita yang seperti dia.” Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan para perawi yang dapat dipercaya.

Hadits ke-38
‘Aisyah .ra berkata: ada seseorang mentalak istrinya tiga kali, lalu wanita itu dinikahi seorang laki-laki. Lelaki itu kemudian menceraikannya sebelum menggaulinya. Ternyata suaminya yang pertama ingin menikahinya kembali. Maka masalah tersebut ditanyakan kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, lalu beliau bersabda: “Tidak boleh, sampai suami yang terakhir merasakan manisnya perempuan itu sebagaimana yang dirasakan oleh suami pertama.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim.

Hadits ke-39
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Bangsa Arab itu sama derajatnya satu sama lain dan kaum mawali (bekas hamba yang telah dimerdekakan) sama derajatnya satu sama lain, kecuali tukang tenung dan tukang bekam.” Riwayat Hakim dan dalam sanadnya ada kelemahan karena ada seorang perawi yang tidak diketahui namanya. Hadits munkar menurut Abu Hatim.

Hadits ke-40
Hadits tersebut mempunyai hadits saksi dari riwayat al-Bazzar dari Mu’adz Ibnu Jabal dengan sanad terputus

Hadits ke-41
Dari Fatimah Bintu Qais Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: “Nikahilah Usamah.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-42
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Hai Banu Bayadlah, nikahilah Abu Hind, kawinlah dengannya.” Dan ia adalah tukang bekam. Riwayat Abu Dawud dan Hakim dengan sanad yang baik.

Hadits ke-43
‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Barirah disuruh memilih untuk melanjutkan kekeluargaan dengan suaminya atau tidak ketika ia merdeka. Muttafaq Alaihi -dalam hadits yang panjang. Menurut riwayat Muslim tentang hadits Barirah: bahwa suaminya adalah seorang budak. Menurut riwayat lain: Suaminya orang merdeka. Namun yang pertama lebih kuat. Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu riwayat Bukhari membenarkan bahwa ia adalah seorang budak.

Hadits ke-44
Al-Dhahhak Ibnu Fairuz al-Dailamy, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku berkata: wahai Rasulullah, aku telah masuk Islam sedang aku mempunyai dua istri kakak beradik. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Ceraikanlah salah seorang yang kau kehendaki.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Nasa’i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban, Daruquthni, dan Baihaqi. ma’lul menurut Bukhari.

Hadits ke-45
Dari Salim, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Ghalian Ibnu Salamah masuk Islam dan ia memiliki sepuluh orang istri yang juga masuk Islam bersamanya. Lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menyuruhnya untuk memilih empat orang istri di antara mereka. Riwayat Ahmad dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim, dan ma’lul menurut Bukhari, Abu Zur’ah dan Abu Hatim.

Hadits ke-46
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah mengembalikan puteri (angkat) beliau Zainab kepada Abu al-Ash Ibnu Rabi’ setelah enam tahun dengan akad nikah pertama, dan beliau tidak menikahkan lagi. Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Nasa’i. Hadits shahih menurut Ahmad dan Hakim.

Hadits ke-47
Dari Amar Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mengembalikan puteri beliau Zainab kepada Abu al-Ash dengan akad nikah baru. Tirmidzi berkata: Hadits Ibnu Abbas sanadnya lebih baik, namun yang diamalkan adalah hadits Amar Ibnu Syu’aib.

Hadits ke-48
Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu berkata: Ada seorang wanita masuk Islam, lalu kawin. Kemudian suaminya datang dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah masuk Islam dan ia tahu keislamanku. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mencabutnya dari suaminya yang kedua dan mengembalikan kepada suami yang pertama. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.

Hadits ke-49
Zaid Ibnu Ka’ab dari Ujrah, dari ayahnya berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam kawin dengan Aliyah dari Banu Ghifar. Setelah ia masuk ke dalam kamar beliau dan menanggalkan pakaiannya, beliau melihat belang putih di pinggulnya. Lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Pakailah pakaianmu dan pulanglah ke keluargamu.” Beliau memerintahkan agar ia diberi maskawin. Riwayat Hakim dan dalam sanadnya ada seorang perawi yang tidak dikenal, yaitu Jamil Ibnu Zaid. Hadits ini masih sangat dipertentangkan. Dari Said Ibnu al-Musayyab bahwa Umar Ibnu al-Khaththab Radliyallaahu ‘anhu berkata: Laki-laki manapun yang menikah dengan perempuan dan setelah menggaulinya ia mendapatkan perempuan itu berkudis, gila, atau berpenyakit kusta, maka ia harus membayar maskawin karena telah menyentuhnya dan ia berhak mendapat gantinya dari orang yang menipunya. Riwayat Said Ibnu Manshur, Malik, dan Ibnu Abu Syaibah dengan perawi yang dapat dipercaya. Said juga meriwayatkan hadits serupa dari Ali dengan tambahan: Dan kemaluannya bertanduk, maka suaminya boleh menentukan pilihan, jika ia telah menyentuhnya maka ia wajib membayar maskawin kepadanya untuk menghalalkan kehormatannya. Dari jalan Said Ibnu al-Musayyab juga, ia berkata: Umar Radliyallaahu ‘anhu menetapkan bahwa orang yang mati kemaluannya (impoten) hendaknya ditunda (tidak dicerai) hingga setahun. Perawi-perawinya dapat dipercaya.

Hadits ke-50
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Terlaknatlah orang yang menggauli istrinya di duburnya.” Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i, dan lafadznya menurut Nasa’i. Para perawinya dapat dipercaya namun ia dinilai mursal.

Hadits ke-51
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Allah tidak akan melihat laki-laki yang menyetubuhi seorang laki-laki atau perempuan lewat duburnya.” Riwayat Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Hibban, namun ia dinilai mauquf.

Hadits ke-52
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia menyakiti tetangganya, dan hendaklah engkau sekalian melaksanakan wasiatku untuk berbuat baik kepada para wanita. Sebab mereka itu diciptakan dari tulang rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok ialah yang paling atas. Jika engkau meluruskannya berarti engkau mematahkannya dan jika engkua membiarkannya, ia tetap akan bengkok. Maka hendaklah kalian melaksanakan wasiatku untuk berbuat baik kepada wanita.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari. Menurut riwayat Muslim: “Jika engkau menikmatinya, engkau dapat kenikmatan dengannya yang bengkok, dan jika engkau meluruskannya berarti engkau mematahkannya, dan mematahkannya adalah memcerainya.”

Hadits ke-53
Jabir berkata: Kami pernah bersama Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dalam suatu peperangan. Ketika kami kembali ke Madinah, kami segera untuk masuk (ke rumah guna menemui keluarga). Maka beliau bersabda: “Bersabarlah sampai engkau memasuki pada waktu malam -yakni waktu isya’- agar wanita-wanita yang kusut dapat bersisir dan wanita-wanita yang ditinggal lama dapat berhias diri.” Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: “Apabila salah seorang di antara kamu lama menghilang, janganlah ia mengetuk keluarganya pada waktu malam.”

Hadits ke-54
Dari Abu Said al-Khudry Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Orang yang paling jelek derajatnya di sisi Allah pada hari kiamat ialah orang yang bersetubuh dengan istrinya, kemudian ia membuka rahasianya.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-55
Hakim Ibnu Muawiyah, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah kewajiban seseorang dari kami terhadap istrinya? Beliau menjawab: “Engkau memberinya makan jika engkau makan, engkau memberinya pakaian jika engkau berpakaian, jangan memukul wajah, jangan menjelek-jelekkan, dan jangan menemani tidur kecuali di dalam rumah.” Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Sebagian hadits itu diriwayatkan Bukhari secara mu’allaq dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan Hakim.

Hadits ke-56
Jabir Ibnu Abdullah berkata: Orang Yahudi beranggapan bahwa seorang laki-laki menyetubuhi istrinya dari duburnya sebagai kemaluannya, maka anaknya akan bermata juling. Lalu turunlah ayat (artinya = istrimu adalah ladang milikmu, maka datangilah ladangmu dari mana engkau suka). Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim.

Hadits ke-57
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Seandainya salah seorang di antara kamu ingin menggauli istrinya lalu membaca doa: (artinya = Dengan nama Allah, Ya Allah jauhkanlah setan dari kami dan jauhkanlah setan dari apa yang engkau anugerahkan pada kami), mak jika ditakdirkan dari pertemuan keduanya itu menghasilkan anak, setan tidak akan mengganggunya selamanya.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-58
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, tapi ia menolak untuk datang, lalu sang suami marah sepanjang malam, maka para malaikat melaknatnya (sang istri) hingga datang pagi.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.

Hadits ke-59
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melaknat wanita yang memakai cemara (rambut pasangan) dan yang meminta memakai cemara, dan wanita yang menggambar (mentatto) kulitnya dan minta digambar kulitnya.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-60
Judzamah Bintu Wahab Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku pernah menyaksikan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam di tengah orang banyak, beliau bersabda: “Aku benar-benar ingin melarang ghilah (menyetubuhi istri pada waktu ia hamil), tapi aku melihat di Romawi dan Parsi orang-orang melakukan ghilah dan hal itu tidak membahayakan anak mereka sama sekali.” Kemudian mereka bertanya kepada beliau tentang ‘azl (menumpahkan sperma di luar rahim). Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Itu adalah pembunuhan terselubung.” Riwayat Muslim.

ke-61
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu ‘anhu bahwa ada seseorang berkata: Wahai Rasulullah, aku mempunyai seorang budak perempuan, aku melakukan ‘azl padanya karena aku tidak suka ia hamil, namun aku menginginkan sebagaimana yang diinginkan orang kebanyakan. Tapi orang Yahudi mengatakan bahwa perbuatan ‘azl adalah pembunuhan kecil. Beliau bersabda: “Orang Yahudi bohong. Seandainya Allah ingin menciptakan anak (dari persetubuhan itu), engkau tidak akan mampu mengeluarkan air mani dari luar rahim.” Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i dan Thahawy. Lafadznya menurut Abu Dawud. Para perawinya dapat dipercaya.

Hadits ke-62
Jabir berkata: Kami melakukan ‘azl pada zaman Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan al-Qur’an masih diturunkan, jika ia merupakan sesuatu yang dilarang, niscaya al-Qur’an melarangnya pada kami. Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: Hal itu sampai kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan beliau tidak melarangnya pada kami.

Hadits ke-63
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menggilir istri-istrinya dengan sekali mandi. Riwayat Bukhari-Muslim dan lafadznya menurut Muslim.

Hadits ke-64
Dari Anas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memerdekakan Shafiyyah dan menjadikan kemerdekaannya sebagai maskawinnya. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-65
Abu Salamah Ibnu Abdurrahman Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku bertanya kepada ‘Aisyah r.a: Berapakah maskawin Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam Ia berkata: Maskawin beliau kepada istrinya ialah dua belas uqiyyah dan nasy. Ia bertanya: Tahukah engkau apa itu nasy? Ia berkata: Aku menjawab: Tidak. ‘Aisyah berkata: Setengah uqiyyah, jadi semuanya lima ratus dirham. Inilah maskawin Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam kepada para istrinya. Riwayat Muslim.

Hadits ke-66
Ibnu Abbas berkata: Ketika Ali menikah dengan Fathimah, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: “Berikanlah sesuatu kepadanya.” Ali menjawab: Aku tidak mempunyai apa-apa. Beliau bersabda: “Mana baju besi buatan Huthomiyyah milikmu?”. Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-67
Dari Amar Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Siapapun perempuan yang menikah dengan maskawin, atau pemberian, atau janji-janji sebelum akad nikah, maka itu semua menjadi miliknya. Adapun pemberian setelah akad nikah, maka ia menjadi milik orang yang diberi, dan orang yang paling layak diberi pemberian ialah puterinya atau saudara perempuannya.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Tirmidzi.

Hadits ke-68
Dari Alqamah, dari Ibnu Mas’ud: Bahwa dia pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang kawin dengan seorang perempuan, ia belum menentukan maskawinnya dan belum menyetubuhinya, hingga laki-laki itu meninggal dunia. Maka Ibnu Mas’ud berkata: Ia berhak mendapat maskawin seperti layaknya perempuan lainnya, tidak kurang dan tidak lebih, ia wajib ber-iddah, dan memperoleh warisan. Muncullah Ma’qil Ibnu Sinan al-Asyja’i dan berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah menetapkan terhadap Bar’wa Bintu Wasyiq -salah seorang perempuan dari kami- seperti apa yang engkau tetapkan. Maka gembiralah Ibnu Mas’ud dengan ucapan tersebut. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan hasan menurut sekelompok ahli hadits.

Hadits ke-69
Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa memberi maskawin berupa tepung atau kurma, maka ia telah halal (dengan wanita tersebut).” Riwayat Abu Dawud dan ia memberi isyarat bahwa mauqufnya hadits itu lebih kuat.

Hadits ke-70
Dari Abdullah Amir Ibnu Rabi’ah, dari ayahnya, Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memperbolehkan nikah dengan seorang perempuan dengan (maskawin) dua buah sandal. Hadits shahih riwayat Tirmidzi, dan hal itu masih dipertentangkan.

Hadits ke-71
Sahal Ibnu Saad Radliyallaahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah mengawinkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan maskawin sebuah cincin dari besi. Riwayat Hakim. Ini merupakan potongan dari hadits panjang yang sudah lewat di permulaan bab nikah. Ali Radliyallaahu ‘anhu berkata: Maskawin itu tidak boleh kurang dari sepuluh dirham. Hadits mauquf riwayat Daruquthni dan sanadnya masih diperbincangkan.

Hadits ke-72
Dari Uqbah Ibnu Amir Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sebaik-baik maskawin ialah yang paling mudah.” Riwayat Abu Dawud dan dinilai shahih oleh Hakim.

Hadits ke-73
Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Amrah Bintu al-Jaun berlindung dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam ketika ia dipertemukan dengan beliau -yakni ketika beliau menikahinya-. Beliau bersabda: “Engkau telah berlindung dengan benar.” Lalu beliau menceraikannya dan memerintahkan Usamah untuk memberinya tiga potong pakaian. Riwayat Ibnu Majah. Dalam sanad hadits itu ada seorang perawi yang ditinggalkan ahli hadits.

Hadits ke-74
Asal cerita tersebut dari kitab Shahih Bukhari dari hadits Abu Said al-Sa’idy.

Hadits ke-75
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah melihat bekas kekuningan pada Abdurrahman Ibnu Auf. Lalu beliau bersabda: “Apa ini?”. Ia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menikahi seorang perempuan dengan maskawin senilai satu biji emas. Beliau bersabda: “Semoga Allah memberkahimu, selenggarakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim.

Hadits ke-76
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila seorang di antara kamu diundang ke walimah, hendaknya ia menghadirinya.” Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: “Apabila salah seorang di antara kamu mengundang saudaranya, hendaknya ia memenuhi undangan tersebut, baik itu walimah pengantin atau semisalnya.

Hadits ke-77
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sejahat-jahatnya makanan ialah makanan walimah, ia ditolak orang yang datang kepadanya dan mengundang orang yang tidak diundang. Maka barangsiapa tidak memenuhi undangan tersebut, ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-78
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila seorang di antara kamu diundang hendaknya ia memenuhi undangan tersebut, jika ia sedang puasa hendaknya ia mendoakan, dan jika ia tidak puasa hendaknya ia makan.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-79
Muslim juga meriwayatkan hadits serupa dari hadits Jabir, beliau bersabda: “Ia boleh makan atau tidak.”

Hadits ke-80
Dari Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Makanan walimah pada hari pertama adalah layak, pada hari kedua adalah sunat, dan pada hari ketiga adalah sum’ah (ingin mendapat pujian dan nama baik). Barangsiapa ingin mencari pujian dan nama baik, Allah akan menjelekkan namanya.” Hadits gharib riwayat Tirmidzi. Para perawinya adalah perawi-perawi kitab shahih Bukhari

Hadits ke-81
Ada hadits saksi riwayat Ibnu Majah dari Anas.

Hadits ke-82
Shafiyyah Binti Syaibah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mengadakan walimah terhadap sebagian istrinya dengan dua mud sya’ir. Riwayat Bukhari.

Hadits ke-83
Anas berkata: Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah berdiam selama tiga malam di daerah antara Khaibar dan Madinah untuk bermalam bersama Shafiyyah (istri baru). Lalu aku mengundang kaum muslimin menghadiri walimahnya. Dalam walimah itu tak ada roti dan daging. Yang ada ialah beliau menyuruh membentangkan tikar kulit. Lalu ia dibentangkan dan di atasnya diletakkan buah kurma, susu kering, dan samin. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.

Hadits ke-84
Salah seorang sahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam berkata: Apabila dua orang mengundang secara bersamaan, maka penuhilah orang yang paling dekat pintu (rumah)nya. Jika salah seorang di antara mereka mengundang terlebih dahulu, maka penuhilah undangan yang lebih dahulu. Riwayat Abu Dawud dan sanadnya lemah.

Hadits ke-85
Dari Abu Jahnah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Aku tidak makan dengan bersandar.” Riwayat Bukhari.

Hadits ke-86
Umar Ibnu Salamah berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepadaku: “Wahai anak muda, bacalah bismillah dan makanlah dengan tangan kananmu dan apa yang ada di sekitarmu.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-87
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa ada seseorang datang kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam membawa talam berisi roti bercampur kuah. beliau bersabda: “Makanlah dari tepi-tepinya dan jangan makan dari tengahnya karena berkah itu turun di tengahnya.” Riwayat Imam Empat. Lafadznya menurut Nasa’i dan sanadnya shahih.

Hadits ke-88
Abu Hurairah berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam tidak pernah mencela makanan sama sekali. Jika beliau menginginkan sesuatu, beliau memakannya dan jika beliau tidak menyukainya, beliau meninggalkannya. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-89
Dari Jabir Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kalian makan dengan tangan kiri sebab setan itu makan dengan tangan kiri.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-90
Dari Abu Qotadah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu minum, janganlah ia bernafas dalam tempat air.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-91
Abu Dawud meriwayatkan hadits serupa dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu dengan tambahan: “Dan meniup di dalamnya.” Hadits shahih menurut Tirmidzi.

Hadits ke-92
‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam selalu membagi giliran terhadap para istrinya dengan adil. Beliau bersabda: “Ya Allah, inilah pembagianku sesuai dengan yang aku miliki, maka janganlah Engkau mencela dengan apa yang Engkau miliki dan aku tidak memiliknya.” Riwayat Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim. Tirmidzi lebih menilainya sebagai hadits mursal.

Hadits ke-93
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barang siapa memiliki dua orang istri dan ia condong kepada salah satunya, ia akan datang pada hari kiamat dengan tubuh miring.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat, dan sanadnya shahih.

Hadits ke-94
Anas Radliyallaahu ‘anhu berkata: Menurut sunnah, apabila seseorang kawin lagi dengan seorang gadis hendaknya ia berdiam dengannya tujuh hari, kemudian membagi giliran; dan apabila ia kawin lagi dengan seorang janda hendaknya ia berdiam dengannya tiga hari, kemudian membagi giliran.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.

Hadits ke-95
Dari Ummu Salamah Radliyallaahu ‘anhu bahwa ketika Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menikahinya, beliau berdiam dengannya selama tiga hari, dan beliau bersabda: “Sesungguhnya engkau di depan suamimu bukanlah hina, jika engkau mau aku akan memberimu (giliran) tujuh hari, namun jika aku memberimu tujuh hari, aku juga harus memberi tujuh hari kepada istri-istriku.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-96
Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Saudah Binti Zam’ah pernah memberikan hari gilirannya kepada ‘Aisyah. Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memberi giliran kepada ‘Aisyah pada harinya dan pada hari Saudah. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-97
Dari Urwah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam berkata: Wahai anak saudara perempuanku, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam tidak mengistimewakan sebagian kami atas sebagian yang lain dalam pembagian giliran tinggalnya bersama kami. Pada siang hari beliau berkeliling pada kami semua dan menghampiri setiap istri tanpa menyentuhnya hingga beliau sampai pada istri yang menjadi gilirannya, lalu beliau bermalam padanya. Riwayat Ahmad dan Abu Dawud, dan lafadznya menurut Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-98
Menurut riwayat Muslim bahwa ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Apabila Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam sholat Ashar, beliau berkeliling ke istri-istrinya, kemudian menghampiri mereka. Hadits.

Hadits ke-99
Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah bertanya ketika beliau sakit yang menyebabkan wafatnya: “Dimana giliranku besok?”. Beliau menginginkan hari giliran ‘Aisyah dan istri-istrinya mengizinkan apa yang beliau kehendaki. Maka beliau berdiam di tempat ‘Aisyah. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-100
‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bila ingin bepergian, beliau mengundi antara istri-istrinya, maka siapa yang undiannya keluar, beliau keluar bersamanya. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-101
Dari Abdullah Ibnu Zam’ah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah seseorang di antara kamu memukul istrinya seperti ia memukul budak.” riwayat Bukhari.

Hadits ke-102
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa istri Tsabit Ibnu Qais menghadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit Ibnu Qais, namun aku tidak suka durhaka (kepada suami) setelah masuk Islam. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apakah engkau mau mengembalikan kebun kepadanya?”. Ia menjawab: Ya. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda (kepada Tsabit Ibnu Qais): “Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia sekali talak.” Riwayat Bukhari. Dalam riwayatnya yang lain: Beliau menyuruh untuk menceraikannya.

Hadits ke-103
Menurut riwayat Abu Dawud dan hadits hasan Tirmidzi: bahwa istri Tsabit Ibnu Qais meminta cerai kepada beliau, lalu beliau menetapkan masa iddahnya satu kali masa haid.

Hadits ke-104
Menurut riwayat Ibnu Majah dari Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, r.a: Bahwa Tsabit Ibnu Qais itu jelek rupanya, dan istrinya berkata: Seandainya aku tidak takut murka Allah, jika ia masuk ke kamarku, aku ludahi wajahnya.

Hadits ke-105
Menurut riwayat Ahmad dari haditsh Sahal Ibnu Abu Hatsmah: Itu adalah permintaan cerai yang pertama dalam Islam.

Hadits ke-106
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah ialah cerai.” Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim. Abu Hatim lebih menilainya hadits mursal.

Hadits ke-107
Dari Ibnu Umar bahwa ia menceraikan istrinya ketika sedang haid pada zaman Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam Lalu Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan beliau bersabda: “Perintahkan agar ia kembali padanya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haid dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki, ia boleh menahannya terus menjadi istrinya atau menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa iddahnya yang diperintahkan Allah untuk menceraikan Allah untuk menceraikan istri.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-108
Menurut riwayat Muslim: “Perintahkan ia agar kembali kepadanya, kemudian menceraikannya ketika masa suci atau hamil.”

Hadits ke-109
Menurut riwayat Bukhari yang lain: “Dan dianggap sekali talak.”

Hadits ke-110
Menurut riwayat Muslim, Ibnu Umar berkata (kepada orang yang bertanya kepadanya): Jika engkau mencerainya dengan sekali atau dua kali talak, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menyuruhku untuk kembali kepadanya, kemudian aku menahannya hingga sekali masa haid lagi, lalu aku menahannya hingga masa suci, kemudian baru menceraikannya sebelum menyetubuhinya. Jika engkau menceraikannya dengan tiga talak, maka engkau telah durhaka kepada Tuhanmu tentang cara menceraikan istri yang Ia perintahkan kepadamu

Hadits ke-111
Menurut suatu riwayat lain bahwa Abdullah Ibnu Umar berkata: Lalu beliau mengembalikan kepadaku dan tidak menganggap apa=apa (talak tersebut). Beliau bersabda: “Bila ia telah suci, ia boleh menceraikannya atau menahannya.

Hadits ke-112
Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu berkata: Pada masa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, Abu Bakar, dan dua tahun masa khalifah Umar talak tiga kali itu dianggap satu. Umar berkata: Sesungguhnya orang-orang tergesa-gesa dalam satu hal yang mestinya mereka harus bersabar. Seandainya kami tetapkan hal itu terhadap mereka, maka ia menjadi ketetapan yang berlaku atas mereka. Riwayat Muslim.

Hadits ke-113
Mahmud Ibnu Labid Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah diberi tahu tentang seseorang yang mencerai istrinya tiga talak dengan sekali ucapan. Beliau berdiri amat marah dan bersabda: “Apakah ia mempermainkan kitab Allah padahal aku masih berada di antara kamu?”. Sampai seseorang berdiri dan berkata: Wahai Rasulullah, apakah aku harus membunuhnya. Riwayat Nasa’i dan para perawinya dapat dipercaya.

Hadits ke-114
Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu berkata: Abu Rakanah pernah menceraikan Ummu Rakanah. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda padanya: “Kembalilah pada istrimu.” Ia berkata: Aku telah menceraikannya tiga talak. Beliau bersabda: “Aku sudah tahu, kembalilah kepadanya.” Riwayat Abu Dawud.

Hadits ke-115
Dalam suatu lafadz riwayat Ahmad: Abu Rakanah menceraikan istrinya dalam satu tempat tiga talak, lalu ia kasihan padanya. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: “Yang demikian itu satu talak.” Dalam dua sanadnya ada Ibnu Ishaq yang masih dipertentangkan.

Hadits ke-116
Abu Dawud meriwayatkan dari jalan lain yang lebih baik dari hadits tersebut: Bahwa Rakanah menceraikan istrinya, Suhaimah, dengan talak putus (talak tiga). Lalu berkata: Demi Allah, aku tidak memaksudkannya kecuali satu talak. Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mengembalikan istrinya kepadanya.

Hadits ke-117
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tiga hal yang bila dikatakan dengan sungguh akan jadi dan bila dikatakan dengan main-main akan jadi, yaitu: nikah, talak dan rujuk (kembali ke istri lagi).” Riwayat Imam Empat kecuali Nasa’i. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-118
Menurut Hadits dha’if riwayat Ibnu ‘Adiy dari jalan lain: “Yaitu: talak, memerdekakan budak dan nikah.”

Hadits ke-119
Menurut Hadits marfu’ riwayat Harits Ibnu Abu Usamah dari hadits Ubadah Ibnu al-Shomit r.a: “Tidak dibolehkan main-main dengan tiga hal: talak, nikah dan memerdekakan budak. Barangsiapa mengucapkannya maka jadilah hal-hal itu.” Sanadnya lemah.

Hadits ke-120
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengampuni apa-apa yang tersirat dalam hati umatku selama mereka tidak melakukan atau mengucapkannya.” Muttafaq Alaihi

Hadits ke-121
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mengampuni dari umatku kesalahan, kealpaan, apa-apa yang mereka dipaksa melakukannya.” Riwayat Ibnu Majah dan Hakim. Abu Hatim berkata: Hadits itu tidak sah.

Hadits ke-122
Ibnu Abbas berkata: Apabila seseorang mengharamkan istrinya, maka hal itu tidak apa-apa. Dia berkata: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam suri tauladan yang baik untukmu. Riwayat Bukhari.

Hadits ke-123
Menurut riwayat Muslim dari Ibnu Abbas: Apabila seseorang mengharamkan istrinya, maka itu berarti sumpah yang harus dibayar dengan kafarat.

Hadits ke-124
Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa tatkala puteri al-Jaun dimasukkan ke kamar (pengantin) Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan beliau mendekatinya, ia berkata: Aku berlindung kepada Allah darimu. Beliau bersabda: “Engkau telah berlindung kepada Yang Mahaagung, kembalilah kepada keluargamu.” Riwayat Bukhari.

Hadits ke-125
Dari Jabir Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak ada talak kecuali setelah nikah dan tidak ada pemerdekaan budak kecuali setelah dimiliki.” Riwayat Abu Ya’la dan dinilai shahih oleh Hakim. Hadits ini ma’lul.

Hadits ke-126
Ibnu Majah meriwayatkan hadits serupa dari al-Miswar Ibnu Mahrahmah, sanadnya hasan namun ia juga ma’lul.

Hadits ke-127
Dari Amar Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: Tidak sah anak Adam (manusia) bernadzar dengan apa yang bukan miliknya, memerdekakan budak dengan budak yang bukan miliknya, dan menceraikan istri yang bukan miliknya.” Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi. Menurut Bukhari hadits tersebut adalah yang paling shahih dalam masalah ini.

Hadits ke-128
Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Pena diangkat dari tiga orang (malaikat tidak mencatat apa-apa dari tiga orang), yaitu: orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia dewasa, dan orang gila hingga ia berakal normal atau sembuh.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Tirmidzi. Hadits shahih menurut Hakim. Ibnu Hibban juga mengeluarkan hadits ini.

Hadits ke-129
Imran Ibnu Hushoin Radliyallaahu ‘anhu pernah ditanya tentang orang yang bercerai kemudian rujuk lagi tanpa menghadirkan saksi. Ia berkata: Hadirkanlah saksi untuk mentalaknya dan merujuknya. Riwayat Abu Dawud secara mauquf dan sanadnya shahih.

Hadits ke-130
Baihaqi meriwayatkan dengan lafadz: Bahwa Imran Ibnu Hushoin Radliyallaahu ‘anhu ditanya tentang seseorang yang merujuk istrinya dan tidak menghadirkan saksi. Ia berkata: Itu tidak mengikuti sunnah, hendaknya ia menghadirkan saksi sekarang. Thabrani menambahkan dalam suatu riwayat: Dan memohon ampunan Allah.

Hadits ke-131
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa ketika ia menceraikan istrinya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada Umar: “Perintahkanlah dia agar merujuknya kembali.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-132
‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersumpah menjauhkan diri dari istri-istrinya dan mengharamkan berkumpul dengan mereka. Lalu beliau menghalalkan hal yang telah diharamkan dan membayar kafarat karena sumpahnya. Riwayat Tirmidzi dan para perawinya dapat dipercaya. Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Jika telah lewat masa empat bulan, berhentilah orang yang bersumpah ila’ hingga ia mentalaknya, dan talak itu tidak akan jatuh sebelum ia sendiri yang mentalaknya. Riwayat Bukhari. Sulaiman Ibnu Yassar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku mendapatkan belasan orang sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, mereka semua menghentikan orang yang bersumpah dengan ila’. Riwayat syafi’i. Ibnu Abbas berkata: masa ila’ orang jahiliyyah dahulu ialah setahun dan dua tahun, lalu Allah menentukan masanya empat bulan, bila kurang dari empat bulan tdak termasuk ila’. Riwayat Baihaqi.

Hadits ke-133
Dari dia Radliyallaahu ‘anhu bahwa ada seseorang mengucapkan dhihar kepada istrinya, kemudian ia bercampur dengan istrinya. Ia menghadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan berkata: Sungguh aku telah bersetubuh dengannya sebelum membayar kafarat. Beliau bersabda: “Jangan mendekatinya hingga engkau melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadamu.” Riwayat Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan mursal menurut tarjih Nasa’i. Al-Bazzar juga meriwayatkannya dari jalan lain dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu dengan tambahan di dalamnya: “Bayarlah kafarat dan jangan engkau ulangi.”

Hadits ke-134
Salamah Ibnu Shahr Radliyallaahu ‘anhu berkata: Bulan Ramadlan datang dan aku takut berkumpul dengan istriku. Maka aku mengucapkan dhihar kepadanya. Namun tersingkaplah bagian tubuhnya di depanku pada suatu malam, lalu aku berkumpul dengannya. Maka bersabdalah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam kepadaku: “Merdekakanlah seorang budak.” Aku berkata: Aku tidak memiliki kecuali seorang budakku. Beliau bersabda: “Berpuasalah dua bulan berturut-turut.” Aku berkata: Bukankah aku terkena denda ini hanyalah karena berpuasa?. Beliau bersabda: “Berilah makan satu faraq (3 sho’ = 7 kg) kurma kepada enam puluh orang miskin. Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Nasa’i. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu al-Jarud.

Hadits ke-135
Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Si fulan bertanya: Dia berkata, wahai Rasulullah, bagaimana menurut pendapat baginda jika ada salah seorang di antara kami mendapati istri dalam suatu kejahatan, apa yang harus diperbuat? Jika ia menceritakan berarti ia telah menceritakan sesuatu yang besar dan jika ia diam berarti ia telah mendiamkan sesuatu yang besar. Namun beliau tidak menjawab. Setelah itu orang tersebut menghadap kembali dan berkata: Sesungguhnya yang telah aku tanyakan pada baginda dahulu telah menimpaku. Lalu Allah menurunkan ayat-ayat dalam surat an-nuur (ayat 6-9). beliau membacakan ayat-ayat tersebut kepadanya, memberinya nasehat, mengingatkannya dan memberitahukan kepadanya bahwa adzab dunia itu lebih ringan daripada adzab akhirat. Orang itu berkata: Tidak, Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak berbohong. Kemudian beliau memanggil istrinya dan menasehatinya juga. Istri itu berkata: Tidak, Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, dia (suaminya) itu betul-betul pembohong. Maka beliau mulai memerintahkan laki-laki itu bersumpah empat kali dengan nama Allah, lalu menyuruh istrinya (bersumpah seperti suaminya). Kemudian beliau menceraikan keduanya.

Hadits ke-136
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada suami istri yang saling menuduh: “Perhitungan kamu berdua terserah kepada Allah, salah seorang di antara kamu berdua ada yang berbohong, engkau (suami) tidak berhak lagi terhadap (istri).” Sang suami berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana dengan hartaku (maskawin yang telah kubayar)?. Beliau bersabda: “Jika tuduhanmu benar terhadapnya, maka ia telah menghalalkan kehormatannya untukmu; dan jika engkau berdusta, maka maskawinmu itu menjadi semakin jauh darimu.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-137
Dari Anas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Perhatikanlah dia. Jika ia melahirkan anak berkulit putih dan berambut lurus, anak itu dari suaminya. Jika ia melahirkan anak bercelak mata dan berambut keriting, anak itu dari orang yang dituduh suaminya.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-138
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menyuruh seseorang untuk meletakkan tangannya di mulutnya pada kali yang kelima dan bersabda: “Yang kelima itu yang menentukan.” Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i. Para perawinya dapat dipercaya.

Hadits ke-139
Dari Sahal Ibnu Saad Radliyallaahu ‘anhu tentang kisah suami-istri yang saling menuduh. Ia berkata: Ketika keduanya telah selesai saling menuduh, sang suami berkata: Aku bohong wahai Rasulullah jika aku menahannya. Lalu menceraikan istrinya tiga talak sebelum diperintahkan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-140
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki menemui Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan berkata: Sesungguhnya istriku tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya. Beliau bersabda: “Asingkanlah dia.” Ia berkata: Aku takut perasaanku mengikutinya. Beliau bersabda: “Bersenang-senanglah dengannya.” Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, dan al-Bazzar. Para perawinya dapat dipercaya. Nasa’i meriwayatkan dari jalan lain dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu dengan lafadz: Beliau bersabda: “Ceraikanlah dia.” Ia berkata: Aku tidak tahan (berpisah) dengannya. Beliau bersabda: “Tahanlah dia.”

Hadits ke-141
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa dia mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda -ketika turun ayat tentang orang yang saling menuduh-: “Siapapun wanita yang memasukkan laki-laki yang bukan dari golongannya, ia tidak berharga sedikitpun di sisi Allah dan tidak akan memasukkannya dalam surga-Nya. Dan siapapun laki-laki yang tidak mengaku anaknya -padahal ia tahu bahwa itu anaknya- Allah akan menutup rahmat darinya dan mempermalukannya di hadapan pemimpin orang-orang terdahulu dan yang akan datang.” Riwayat Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban. Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Barangsiapa mengaku anaknya walaupun sekejap mata, maka tiada hak baginya untuk mencabutnya.” Riwayat Baihaqi. Ia hadits hasan mauquf.

Hadits ke-142
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa ada seseorang berkata: Wahai Rasulullah, istriku telah melahirkan seorang anak yang hitam. Beliau bersabda: “Apakah engkau mempunyai unta?”. Ia menjawab: Ya. Beliau bertanya: “Apakah warnanya?” Ia menjawab: Kemerahan. Beliau bertanya: “Adakah yang berwarna abu-abu?” Ia menjawab: Ya. Beliau bertanya: “Dari mana bisa begitu?” Ia menjawab: Mungkin ditarik keturunannya. Beliau bersabda: “Barangkali anakmu ini ditarik keturunannya dahulu.” Muttafaq Alaihi. Dalam riwayat Muslim: Dia menginginkan tidak mengakuinya. Di akhir hadits ini dikatakan: Beliau tidak mengizinkan orang itu mengingkari anaknya.

Hadits ke-143
Dari al-Miswar Ibnu Makhramah bahwa Subai’ah al-Aslamiyyah Radliyallaahu ‘anhu melahirkan anak setelah kematian suaminya beberapa malam. Lalu ia menemui Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam meminta izin untuk menikah. Beliau mengizinkannya, kemudian ia nikah. Riwayat Bukhari dan asalnya dalam shahih Bukhari-Muslim. Dalam suatu lafadz: Dia melahirkan setelah empat puluh malam sejak kematian suaminya. Dalam suatu lafadz riwayat Muslim bahwa Zuhry berkata: Aku berpendapat tidak apa-apa seorang laki-laki menikahinya meskipun darah nifasnya masih keluar, hanya saja suaminya tidak boleh menyentuhnya sebelum ia suci.

Hadits ke-144
‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Barirah diperintahkan untuk menghitung masa iddah tiga kali haid. Riwayat Ibnu Majah dan para perawinya dapat dipercaya, namun hadits tersebut ma’lul.

Hadits ke-145
Dari Sya’by dari Fathimah Ibnu Qais Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda -tentang perempuan yang ditalak tiga-: “Dia tidak mendapat hak tempat tinggal dan nafkah.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-146
Dari Ummu Athiyyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah seorang perempuan berkabung atas kematian lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya ia boleh berkabung empat bulan sepuluh hari, ia tidak boleh berpakaian warna-wanri kecuali kain ‘ashob, tidak boleh mencelak matanya, tidak menggunakan wangi-wangian, kecuali jika telah suci, dia boleh menggunakan sedikit sund dan adhfar (dua macam wewangian yang biasa digunakan perempuan untuk membersihkan bekas haidnya).” Muttafaq Alaihi dan lafadhnya menurut Muslim. Menurut riwayat Abu Dawud dan Nasa’i ada tambahan: “Tidak boleh menggunakan pacar.” Menurut riwayat Nasa’i: “Dan tidak menyisir.”

Hadits ke-147
Ummu Salamah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku menggunakan jadam di mataku setelah kematian Abu Salamah. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “(Jadam) itu mempercantik wajah, maka janganlah memakainya kecuali pada malam hari dan hapuslah pada siang hari, jangan menyisir dengan minyak atau dengan pacar rambut, karena yang demikian itu termasuk celupan (semiran). Aku bertanya: Dengan apa aku menyisir?. Beliau bersabda: “Dengan bidara.” Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i. Sanadnya hasan.

Hadits ke-148
Dari Ummu Salamah Radliyallaahu ‘anhu bahwa seorang perempuan bertanya: Wahai Rasulullah, anak perempuanku telah ditinggal mati suaminya, dan matanya telah benat-benar sakit. Bolehkah kami memberinya celak?. Beliau bersabda: “Tidak.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-149
Jabir Radliyallaahu ‘anhu berkata: Saudara perempuan ibuku telah cerai dan ia ingin memotong pohon kurmanya, namun ada seseorang melarangnya keluar rumah. Lalu ia menemui Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan beliau bersabda: “Boleh, potonglah kurmamu, sebab engkau mungkin bisa bersedekah atau berbuat kebaikan (dengan kurma itu). Riwayat Muslim.

Hadits ke-150
Dari Furai’ah Binti Malik bahwa suaminya keluar untuk mencari budak-budak miliknya, lalu mereka membunuhnya. Kemudian aku meminta kepada Rasululah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam agar aku boleh pulang ke keluargaku, sebab suamiku tidak meninggalkan rumah miliknya dan nafkah untukku. Beliau bersabda: “Ya.” Ketika aku sedang berada di dalam kamar, beliau memanggilku dan bersabda: “Tinggallah di rumahku hingga masa iddah.” Ia berkata: Aku beriddah di dalam rumah selama empat bulan sepuluh hari. Ia berkata: Setelah itu Utsman juga menetapkan seperti itu. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Duhaly, Ibnu Hibban, Hakim dan lain-lain

Hadits ke-151
Fathimah Binti Qais berkata: Aku berkata: Wahai Rasulullah, suamiku telah mentalakku dengan tiga talak, aku takut ada orang mendatangiku. Mak beliau menyuruhnya pindah dan ia kemudian pindah. Riwayat Muslim.

Hadits ke-152
Amar Ibnul al-‘Ash Radliyallaahu ‘anhu berkata: Janganlah engkau campur-baurkan sunnah Nabi pada kita. Masa iddah Ummul Walad (budak perempuan yang memperoleh anak dari majikannya) jika ditinggal mati suaminya ialah empat bulan sepuluh hari. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim dan Daruquthni menilainya munqothi’. ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu berkata: (Arti) quru’ itu tidak lain adalah suci. Riwayat Malik dalam suatu kisah dengan sanad shahih.

Hadits ke-153
Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Talak budak perempuan ialah dua kali dan masa iddahnya dua kali haid. Riwayat Daruquthni dengan marfu’ dan iapun menilainya dha’if.

Hadits ke-154
Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah juga meriwayatkan dari hadits ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu dan dinilainya shahih oleh Hakim. Namun para ahli hadits menentangnya dan mereka sepakat bahwa ia hadits dha’if.

Hadits ke-155
Dari Ruwaifi’ Ibnu Tsabit Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain.” Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan hasan menurut al-Bazzar. Dari Umar Radliyallaahu ‘anhu tentang seorang istri yang ditinggal suaminya tanpa berita: Ia menunggu empat tahun dan menghitung iddahnya empat bulan sepuluh hari. Riwayat Malik dan Syafi’i.

Hadits ke-156
Dari al-Mughirah Ibnu Syu’bah bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Istri yang ditinggal suaminya tanpa berita tetap menjadi istrinya (suami yang pergi itu) hingga datang kepadanya berita.” Dikeluarkan Daruquthni dengan sanad lemah.

Hadits ke-157
Dari Jabir Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: Janganlah sekali-kai seorang laki-laki bermalam di rumah seorang perempuan kecuali ia kawin atau sebagai mahram.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-158
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Jangan sekali-kali seorang laki-laki menyepi bersama seorang perempuan kecuali bersama mahramnya.” Riwayat Bukhari.

Hadits ke-159
Dari Abu Said Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda tentang tawanan wanita Authas: “Tidak boleh bercampur dengan wanita yang hamil hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil hingga datang haidnya sekali.” Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-160
Ada hadits saksi riwayat Daruquthni dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu

Hadits ke-161
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Anak itu milik tempat tidur (suami) dan bagi yang berzina dirajam.” Muttafaq Alaihi dari haditsnya.

Hadits ke-162
Demikian juga hadits riwayat Nasa’i dari ‘Aisyah dalam suatu kisah dari Ibnu Mas’ud dan riwayat Abu Dawud dari Utsman.

Hadits ke-163
Idem

Hadits ke-164
Idem

Hadits ke-165
Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sekali dan dua kali isapan itu tidak mengharamkan.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-166
Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “(Wahai kaum wanita) lihatlah saudara-saudaramu (sepenyusuan), sebab penyusuan itu hanyalah karena lapar.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-167
Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Sahlan Binti Suhail datang dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Salim, budak kecil yang telah dimerdekakan Abu Hudzaifah, tinggal bersama kami di rumah kami, padahal ia sudah dewasa. Beliau bersabda: “Susuilah dia agar engkau menjadi haram dengannya.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-168
Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa suatu ketika Aflah -saudara Abu Qu’ais- datang meminta izin untuk bertemu dengannya setelah ada perintah hijab. ‘Aisyah berkata: Aku tidak mengizinkannya. Ketika Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam datang aku beritahukan apa yang telah aku lakukan. Lalu beliau menyuruhku untuk mengizinkannya seraya bersabda: “Sesungguhnya dia itu pamanmu (sepenyusuan).” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-169
‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Yang diharamkan al-Qur’an ialah sepuluh penyusuan yang dikenal, kemudian di hapus dengan lima penyusuan tertentu dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam wafat ketika keadaan masih tetap sebagaimana ayat al-Qur’an yang dibaca. Riwayat Muslim.

Hadits ke-170
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa dia mengizinkan agar Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menikahi puteri Hamzah. Beliau bersabda: “Dia itu tidak halal untukku. Dia adalah puteri saudaraku sepenyusuan dan apa yang diharamkan karena nasab (keturunan) juga diharamkan karena penyusuan.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-171
Dari Ummu Salamah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak haram karena penyusuan kecuali yang membekas di perut, yaitu sebelum anak disapih.” Riwayat Tirmidzi. Hadits shahih menurutnya dan Hakim.

Hadits ke-172
Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu berkata: Tidak ada penyusuan kecuali dalam dua tahun. Hadits marfu’ dan mauquf riwayat Daruquthni dan Ibnu ‘Adiy. Namun mereka lebih menilainya mauquf.

Hadits ke-173
Dari Ibnu Mas’udr.a bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak ada penyusuan kecuali yang menguatkan tulang dan menumbuhkan daging.” Riwayat Abu Dawud.

Hadits ke-174
Dari Uqbah Ibnu al-Harits bahwa ia telah menikah dengan Ummu Yahya Binti Abu Ihab, lalu datanglah seorang perempuan dan berkata: Aku telah menyusui engkau berdua. Kemudian ia bertanya kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan beliau bersabda: “Bagaimana lagi, sudah ada orang yang mengatakannya.” Lalu Uqbah menceraikannya dan wanita itu kawin dengan laki-laki lainnya. Riwayat Bukhari.

Hadits ke-175
Dari Ziyad al-Sahmy bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang menyusukan kepada perempuan-perempuan bodoh. Riwayat Abu Dawud. Hadits tersebut mursal sebab ziyad bukan termasuk sahabat.

Hadits ke-176
‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Hindun binti Utbah istri Abu Sufyan masuk menemui Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan adalah orang yang pelit. Ia tidak memberiku nafkah yang cukup untukku dan anak-anakku kecuali aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah yang demikian itu aku berdosa? Beliau bersabda: “Ambillah dari hartanya yang cukup untukmu dan anak-anakmu dengan baik.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-177
Thariq al-Muharib Radliyallaahu ‘anhu berkata Ketika kami datang ke Madinah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam berdiri di atas mimbar berkhutbah di hadapan orang-orang. Beliau bersabda: “Tangan pemberi adalah yang paling tinggi dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu: ibumu dan ayahmu, saudara perempuan dan laki-laki, lalu orang yang dekat denganmu dan yang lebih dekat denganmu.” Riwayat Nasa’i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Daruquthni.

Hadits ke-178
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Hamba yang dimiliki wajib diberi makan dan pakaian, dan tidak dibebani pekerjaan kecuali yang ia mampu.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-179
Hakim Ibnu Muawiyah al-Qusyairy, dari ayahnya, berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang di antara kami? Beliau menjawab: “Engkau memberinya makan jika engkau makan dan engkau memberinya pakaian jika engkau berpakaian.” Hadits yang telah tercantum dalam Bab bergaul dengan istri.

Hadits ke-180
Dari Jabir Radliyallaahu ‘anhu dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam -dalam sebuah hadits tentang haji yang panjang- beliau bersabda tentang istri: “Engkau wajib memberi mereka rizqi dan pakaian yang baik.” Riwayat Muslim

Hadits ke-181
Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Cukup berdosa orang yang membiarkan orang yang wajib diberi makan.” Riwayat Nasa’i. Dalam lafadz riwayat Muslim: “Ia menahan memberi makan terhadap orang yang ia miliki.”

Hadits ke-182
Dari Jabir -hadits marfu’- tentang wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, ia berkata: Tidak ada nafkah baginya. Riwayat Baihaqi dan para perawinya dapat dipercaya, tapi ia mengatakan bahwa yang terpelihara hadits itu mauquf.

Hadits ke-183
Tidak ada kewajiban memberi nafkah ini juga terdapat dalam hadits Fathimah Binti Qais riwayat Muslim, seperti yang telah lewat.

Hadits ke-184
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah, hendaklah seseorang di antara kamu mulai (memberi nafkah) kepada orang yang menjadi tanggungannya. PAra istri akan berkata: “Berikan aku makan atau ceraikan aku.” Riwayat Daruquthni dan sanadnya hasan.

Hadits ke-185
Dari Said Ibnu al-Musayyab tentang orang yang tidak mampu memberi nafkah istrinya, ia berkata: Mereka diceraikan. Riwayat Said Ibnu Manshur dari Sufyan dari Abu al-Zanad, ia berkata: Aku bertanya kepada Said Ibnu al-Musayyab, apakah itu sunnah? Dia berkata: Ya, sunnah. Hadits ini mursal yang kuat. Dari Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa ia menulis surat kepada komandan militer tentang orang-orang yang meninggalkan istri mereka: yaitu agar mereka menuntut dari para suami agar memberi nafkah atau menceraikan. Apabila mereka menceraikan, hendaklah mereka memberi nafkah selama mereka dahulu tidak ada. Dikeluarkan oleh Syafi’i kemudian Baihaqi dengan sanad hasan.

Hadits ke-186
Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Ada seseorang datang kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah, aku mempunyai satu dinar?. Beliau bersabda: “Nafkahilah dirimu sendiri.” Ia berkata: Aku mempunyai satu dinar lagi. Beliau bersabda: “Nafkahi anakmu.” Ia berkata: Aku mempunyai satu dinar lagi. Beliau bersabda: “Nafkahi istrimu.” Ia berkata: Aku mempunyai satu dinar lagi. Beliau bersabda: “Nafkahi pembantumu.” Ia berkata lagi: Aku mempunyai satu dinar lagi. Beliau bersabda: “Engkau lebih tahu (siapa yang harus diberi nafkah).” Riwayat Syafi’i dan Abu Dawud dengan lafadz menurut Abu Dawud. Nasa’i dan Hakim juga meriwayatkan dengan mendahulukan istri daripada anak.

Hadits ke-187
Bahaz Ibnu Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, kepada siapa aku berbuat kebaikan?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ibumu.” Aku bertanya lagi: Kemudian siapa?. Beliau bersabda: “Ayahmu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat.” Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits hasan menurut Tirmidzi.

Hadits ke-188
Dari Abdullah Ibnu Amar bahwa ada seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, susuku yang memberinya minum, dan pangkuanku yang melindunginya. Namun ayahnya yang menceraikanku ingin merebutnya dariku. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum nikah.” Riwayat Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-189
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah, suamiku ingin pergi membawa anakku, padahal ia berguna untukku dan mengambilkan air dari sumur Abu ‘Inabah untukku. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Wahai anak laki, ini ayahmu dan ini ibumu, peganglah tangan siapa dari yang engkau kehendaki.” Lalu ia memegang tangan ibunya dan ia membawanya pergi. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-190
Dari Rafi’ Ibnu Sinan Radliyallaahu ‘anhu bahwa ia masuk Islam namun istrinya menolak untuk masuk Islam. Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mendudukkan sang ibu di sebuah sudut, sang ayah di sudut lain, dan sang anak beliau dudukkan di antara keduanya. Lalu anak itu cenderung mengikuti ibunya. Maka beliau berdoa: “Ya Allah, berilah ia hidayah.” Kemudian ia cenderung mengikuti ayahnya, lalu ia mengambilnya. Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-191
Dari al-Barra’ Ibnu ‘Azb bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam telah memutuskan puteri Hamzah agar dipelihara saudara perempuan ibunya. Beliau bersabda: “Saudara perempuan ibu (bibi) kedudukannya sama dengan ibu.” Riwayat Bukhari.

Hadits ke-192
Ahmad juga meriwayatkan dari hadits Ali r.a, beliau bersabda: “Anak perempuan itu dipelihara oleh saudara perempuan ibunya karena sesungguhnya ia adalah ibunya.”

Hadits ke-193
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila pelayan salah seorang di antara kamu datang membawa makanannya, maka jika tidak diajak duduk bersamanya, hendaknya diambilkan sesuap atau dua suap untuknya.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.

Hadits ke-194
Dari Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Seorang perempuan disiksa karena seekor kucing yang ia kurung hingga ia mati, lalu ia masuk neraka. Ia tidak memberinya makan dan minum padahal ia mengurungnya. Ia tidak melepaskannya agar makan binatang serangga di tanah.” Muttafaq Alaihi.


Sumber: Kitab Hadits Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, Oleh : Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqolani.
http://www.mutiara-hadits.co.nr/


.:: HaditsWeb ::.

 

Jual Beli

Jual Beli / Perniagaan


 

1. Dari Abu Khalid iaitu Hakim bin Hizam r.a., ia masuk Islam di zaman pembebasan Makkah, sedang ayahnya adalah termasuk golongan pembesar-pembesar Quraisy, baik di masa Jahiliyah atau pun di masa Islam, katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda:”Dua orang yang berjual-beli itu dengan kebebasan – yakni boleh mengurungkan jual-belinya atau jadi meneruskannya – selama keduanya itu belum berpisah. Apabila keduanya itu bersikap benar dan menerangkan – cacat-cacatnya, maka diberi berkahlah jual-beli keduanya, tetapi jikalau keduanya itu menyembunyikan – cacat-cacatnya – dan sama- sama berdusta, maka dileburlah keberkahan jual-beli keduanya itu.” (Muttafaq ‘alaih)

2.Dari jabir bin abdullah, Rasulullah saw berkata “sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak dan bangkai, begitu juga babi dan berhala, “pendengar bertanya , bagaimana dengan lemak bangkai ya rasulullah ? karena lemak itu berguna buat cat perahu,buat minyak kulit, dan minyak lampu ? jawab beliau,”tidak boleh, semua itu haram, celakah orang yahudi tatkala Alloh mengharamkan lemak bangkai , mereka menghancurkan lemak itu sampai menjadi minyak, kemudia mereka jual minyaknya lalu mereka makan uangnya (Sepakat ahli hadist)

3.Dari abu hurairah  ia berkata ; nabi saw telah melarang memperjual belikan barang yang mengandung tipu daya (riwayat muslim dan lainnya)

 

4.Dari abu kabsyah ; nabi saw telah bersabda, barang siapa mencampurkan hewan jantan dengna betina, kemudian dengan percampuran itu mendapat anak, maka baginya ganjaran sebanyak tujuh ouluh hewan (riwayat ibnu hibban dan ia mensahihkannya )

5.Dari abu hurairah  Rasulullah saw  telah bersabda “janganlah diantara kamu menjual sesuatu yang sudah dibeli oleh orang lain (Sepakat ahli hadist)

 

6. Aisyah telah meriwayatkan Bahwasanya seorang laki-laki telah membeli seorang budak, budak itu tinggal beberapa lama dengan dia, kemudia kedapatan bahwa budak itu ada cacatnya, lalu dia adukan perkaranya  kepada rasulullah saw, Keputusan dair beliau budak itu dikembalikan kepada si penjual (Riwayat ahmad, abu dawud dan Tirmizi)

 

Tentang Jual Beli

Kitab Jual-Beli

 

Hadits ke-1
Dari Rifa’ah Ibnu Rafi’ bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?. Beliau bersabda: “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih.” Riwayat al-Bazzar. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-2
Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu ‘anhu bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda di Mekkah pada tahun penaklukan kota itu: “Sesungguhnya Allah melarang jual-beli minuman keras, bangkai, babi dan berhala.” Ada orang bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat baginda tentang lemak bangkai karena ia digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan orang-orang menggunakannya untuk menyalakan lampu?. Beliau bersabda: “Tidak, ia haram.” Kemudian setelah itu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Allah melaknat orang-orang Yahudi, karena ketika Allah mengharamkan atas mereka (jual-beli) lemak bangkai mereka memprosesnya dan menjualnya, lalu mereka memakan hasilnya.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-3
Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila dua orang yang berjual beli berselisih, sedang di antara mereka tidak ada keterangan yang jelas, maka perkataan yang benar ialah apa yang dikatakan oleh pemilik barang atau mereka membatalkan transaksi.” Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-4
Dari Abu Mas’u al-Anshory Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang mengambil uang penjualan anjing, uang pelacuran, dan upah pertenungan. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-5
Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu ‘anhu bahwa ia menumpang untanya yang sudah lemah dan ia ingin membiarkannya. Ia berkata: Aku bertemu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, lalu beliau berdoa untukku dan memukul untaku. Kemudian unta itu berjalan tidak seperti biasanya. Lalu beliau bersabda: “Juallah ia padaku dengan satu uqiyyah.” Aku berkata: Tidak. Beliau bersabda lagi: “Juallah ia padaku.” Lalu aku menjualnya dengan satu uqiyyah, namun dengan syarat aku membawanya dahulu pada keluargaku. Setelah aku melakukannya aku datang pada beliau dengan unta itu dan beliau membayar harganya kepadaku. Kemudian aku pulang dan beliau mengirim seseorang membuntutiku. Lalu beliau bersabda: “Apakah engkau mengira aku menawarmu untuk mengambil untamu? Ambillah untamu dan uangmu, ia hadiah untukmu.” Muttafaq Alaihi. Susunan kalimat ini menurut riwayat Muslim.

Hadits ke-6
Dia berkata: Seseorang di antara kami berwasiat memerdekakan seorang budak miliknya setelah ia meninggal dunia, padahal ia tidak memiliki harta selain budak tersebut. Lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memanggil budak itu dan menjualnya. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-7
Dari Maimunah istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bahwa ada seekor tikus yang jatuh ke dalam samin (sejenis mentega), lalu mati. Kemudian hal itu ditanyakan kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan beliau menjawab: “Buanglah tikus dan samin yang ada di sekitarnya, dan makanlah (samin yang tersisa).” Riwayat Bukhari. Ahmad dan Nasa’i menambahkan: Dalam samin yang beku.

Hadits ke-8
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila tikus jatuh ke dalam samin, maka buanglah tikus dan sekitarnya jika samin itu beku dan janganlah mendekatinya bila samin itu cair.” Riwayat Ahmad dan Abu Dawud. Bukhari dan Abu Hatim menyatakan bahwa hadits ini keliru.

Hadits ke-9
Abu al-Zubair berkata: Aku bertanya Jabir Radliyallaahu ‘anhu tentang harga kucing dan anjing. Ia berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang hal itu. Riwayat Muslim dan Nasa’i dengan tambahan: Kecuali anjing pemburu.

Hadits ke-10
‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Barirah datang kepadaku seraya berkata: Aku telah ber-mukatabah (perjanjian antara seorang budak dengan majikannya bahwa budak tersebut akan merdeka bila dapat membayar sejumlah uang yang mereka sepakati) dengan majikanku sebesar sembilan uqiyyah, setiap tahun satu uqiyyah, maka tolonglah aku. Aku berkata: Jika majikanmu bersedia aku membayarnya kepadanya dengan syarat wala’-nya (harta warisan bagi yang memerdekakan budak) nanti untukku, maka aku akan menolongmu. Kemudian Barirah menghadap majikannya dan mengungkapkan hal itu, namun majikannya menolak. Ia datang lagi sewaktu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam sedang duduk seraya berkata: Aku telah menyampaikannya kepadanya, tetapi ia menolak kecuali jika wala’ itu tetap miliknya. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mendengar dan ‘Aisyah memberitahukan hal itu kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, lalu beliau bersabda: “Ambillah dan berilah persyaratan wala’ itu kepadanya, sebab wala’ itu hanya bagi orang yang memerdekakan.” Lalu ‘Aisyah melakukan hal itu. Kemudian Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam berdiri di hadapan orang-orang dan setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya beliau bersabda: “Amma ba’du, mengapa ada orang-orang yang memberikan persyaratan yang tidak ada dalam al-Qur’an?. Setiap syarat yang tidak tercantum dalam al-Qur’an adalah batil, walaupun seratus syarat. Ketetapan Allah itu lebih hak dan syarat (yang ditetapkan) Allah itu lebih kuat, dan wala’ itu hanya bagi orang yang memerdekakan.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Bukhari. Menurut riwayat Muslim: “Belilah dan merdekakanlah, dan berilah persyaratan wala’ kepadanya.”

Hadits ke-11
Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Umar melarang menjual budak-budak yang memiliki anak (dari hasil dengan majikannya), ia berkata: Tidak boleh dijual, diberikan, dan diwariskan. Ia boleh menikmati sekehendaknya, dan jika ia (majikan) meninggalkan ia merdeka. Riwayat Malik dan Baihaqi, dan ia menyatakan bahwa sebagian perawi menganggapnya marfu’ tapi ia keliru.

Hadits ke-12
Jabir Radliyallaahu ‘anhu berkata: Kami biasa menjual budak-budak wanita kami, ibu dari anak-anak dan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam masih hidup. Beliau tidak mempermasalahkannya. Riwayat Nasa’i, Ibnu Majah, dan Daruquthni. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

Hadits ke-13
Jabir Ibnu Abdullah berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang menjual sisa kelebihan air. Riwayat Muslim. Dalam suatu riwayat ia menambahkan: Dan mengupahkan persetubuhan unta jantan.

Hadits ke-14
Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang mengupahkan persetubuhan binatang jantan. Riwayat Bukhari.

Hadits ke-15
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang menjual-belikan hewan yang akan dikandung oleh hewan yang masih dalam kandungan. Ini adalah jual-beli yang dilakukan masyarakat jahiliyyah, yaitu seseorang membeli unta yang akan dibayar nanti bila ia melahirkan, kemudian anak yang masih berada dalam perut itu juga melahirkan. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Bukhari.

Hadits ke-16
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang menjual-belikan wala’ dan menghadiahkannya. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-17
Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara melempar batu dan jual-beli gharar (yang belum jelas harga, barang, waktu dan tempatnya). Riwayat Muslim.

Hadits ke-18
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa membeli suatu makanan maka janganlah ia menjualnya sebelum menerima sukatannya.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-19
Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang dua jual-beli dalam satu transaksi jual-beli. Riwayat Ahmad dan Nasa’i. Hadits shahih menurut Tirmidzi.

Hadits ke-20
Menurut riwayat Abu Dawud: Barangsiapa melakukan dua jual-beli dalam satu transaksi, maka baginya harga yang murah atau ia termasuk riba’.

Hadits ke-21
Dari Amar Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak dihalalkan meminjam dan menjual, dua syarat dalam satu transaksi jual-beli, keuntungan yang belum dapat dijamin, dan menjual sesuatu yang tidak engkau miliki.” Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah dan Hakim.

Hadits ke-22
Amar Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang jual-beli ‘urban (memberikan panjar/persekot terlebih dahulu dan jika jual-beli itu tidak jadi maka uang panjar tersebut hangus)”. Riwayat Malik. Ia berkata: Aku menerimanya dari Amar Ibnu Syu’aib.

Hadits ke-23
Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku pernah membeli minyak di pasar dan ketika minyak itu telah menjadi hak milikku aku bertemu dengan seseorang yang akan membelinya dengan keuntungan yang baik. Ketika aku hendak mengiyakan tawaran orang tersebut, ada seseorang dari belakang yang memegang lenganku. Aku berpaling dan ternyata ia adalah Zaid Ibnu Tsabit. Lalu ia berkata: Jangan menjualnya di tempat engkau membeli, sampai engkau membawanya ke tempatmu, sebab Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang menjual barang di tempat barang itu dibeli sampai para pedagang membawanya ke tempat mereka. Riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan lafadz menurutnya. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.

Hadits ke-24
Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku berkata, wahai Rasulullah, aku menjual unta di Baqi’. Aku menjual dengan dinar tapi aku menerima dirham, aku menjual dengan dirham tapi aku menerima dinar, aku mengambil ini dari ini tapi aku menerima itu dari itu. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak apa-apa engkau mengambilnya dengan harga pada hari itu selama engkau berdua belum berpisah dan antara kamu berdua tidak masalah.” Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-25
Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang berjualan dengan najasy (memuji barang dagangan secara berlebihan). Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-26
Dari Jabir Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara muhaqalah (menjual biji atau tanaman dengan borongan yang masih samar ukurannya), muzabanah (menjual buah yang masih segar dengan yang sudah kering dengan sukatan), mukhobarah (menyewakan tanah untuk ditanami tumbuhan dengan syarat si pemilik tanah mendapat keuntungan setengah atau lebih dari hasilnya), dan tsunaya (penjualan dengan memakai pengecualian), kecuali jika ia jelas. Riwayat Imam Lima kecuali Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Tirmidzi.

Hadits ke-27
Anas berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang jual-beli dengan cara muhaqalah, muhadlarah (menjual buah-buahan yang belum masak yang belum tentu bisa dimakan), mulamasah (menjual sesuatu dengan hanya menyentuh), munabadzah (membeli sesuatu dengan sekedar lemparan), dan muzabanah. Riwayat Bukhari.

Hadits ke-28
Dari Thawus, dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah engkau menghadang kafilah di tengah perjalanan (untuk membeli barang dagangannya), dan janganlah orang kota menjual kepada orang desa.” Aku bertanya kepada Ibnu Abbas: Apa maksud sabda beliau “Janganlah orang kita menjual kepada orang desa?”. Ibnu Abbas menjawab: Janganlah menjadi makelar (perantara). Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Bukhari.

Hadits ke-29
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah menghadang barang dagangan dari luar kota. Barangsiapa di hadang, kemudian sebagian barangnya dibeli, maka jika pemilik barang telah datang ke pasar, ia boleh memilih (antara membatalkan atau tidak).” Riwayat Muslim.

Hadits ke-30
Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang orang kota menjual kepada orang desa, jangan melakukan jual-beli dengan najasy, janganlah seseorang menjual sesuatu yang dijual oleh orang lain, dan janganlah seorang perempuan meminta thalaq saudaranya agar ia menjadi gantinya.” Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: “Janganlah seorang muslim menawar atas tawaran saudaranya.”

Hadits ke-31
Abu Ayyub al-Anshory Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa memisahkan antara seorang ibu dan anaknya, Allah akan memisahkan dia dari kekasihnya pada hari kiamat.” Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Hakim, namun sanadnya masih dipertentangkan dan ia mempunyai saksi.

Hadits ke-32
Ali Ibnu Abu Thalib Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah menyuruhku untuk menjual dua orang budak kecil bersaudara. Lalu aku menjualnya secara terpisah dan aku beritahukan hal itu kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam Beliau bersabda: “Susullah dan ambillah kembali, dan jangan menjual mereka kecuali dengan bersama-sama.” Riwayat Ahmad dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-Jarud, Ibnu Hibban, Hakim, Thabrani, dan Ibnu al-Qothan.

Hadits ke-33
Anas Ibnu Malik berkata: Pada zaman Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah terjadi kenaikan harga barang-barang di Madinah. Maka orang-orang berkata: Wahai Rasulullah, harga barang-barang melonjak tingi, tentukanlah harga bagi kami. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allahlah penentu harga, Dialah yang menahan, melepas dan pemberi rizki. Dan aku berharap menemui Allah dan berharap tiada seorangpun yang menuntutku karena kasus penganiayaan terhadap darah maupun harta benda.” Riwayat Imam Lima kecuali Nasa’i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

Hadits ke-34
Dari Ma’mar Ibnu Abdullah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak akan menimbun (barang) kecuali orang yang berdosa.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-35
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah menahan susu unta dan kambing. Barangsiapa membelinya ia boleh memilih yang lebih baik antara dua hal, setelah memeras susunya; yaitu jika ia mau, ia boleh menahannya dan jika tidak ia boleh mengembalikannya dengan satu sho’ kurma.” Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: “Ia boleh memilih selama tiga hari.” Menurut riwayatnya yang dikomentari oleh Bukhari: “Ia mengembalikannya beserta satu sho’ makanan tanpa gandum.” Bukhari berkata: Dan kurma itu lebih banyak.

Hadits ke-36
Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata: Barangsiapa membeli seekor kambing yang penuh susunya (tidak diperas), lalu ia mengembalikannya, maka hendaknya ia mengembalikannya beserta satu sho’. Riwayat Bukhari. Al-Isma’ily menambahkan: (Satu sho’ kurma.

Hadits ke-37
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah melewati sebuah tumpukan makanan. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan tersebut dan jari-jarinya basah. Maka beliau bertanya: “Apa ini wahai penjual makanan?”. Ia menjawab: Terkena hujan wahai Rasulullah. Beliau bersabda: “Mengapa tidak engkau letakkan di bagian atas makanan agar orang-orang dapat melihatnya? Barangsiapa menipu maka ia bukan termasuk golonganku.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-38
Dari Abdullah Ibnu Buraidah, dari ayahnya bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa membiarkan anggurnya pada musim panen untuk dijual kepada orang-orang yang membuat minuman keras, maka sesungguhnya ia telah menempuh api neraka dengan sengaja.” Riwayat Thabrani dalam kitab al-Ausath dengan sanad Hasan.

Hadits ke-39
Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Pengeluaran itu dengan tanggungan.” Riwayat Imam Lima. Hadits dlo’if menurut Bukhari dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-Jarud, Ibnu Hibban, Hakim, dan Ibnu al-Qotthon.

Hadits ke-40
Dari Urwah al-Bariqy Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor hewan kurban atau kambing. Ia membeli dengan uang tersebut dua ekor kambing dan menjual salah satunya dengan harga satu dinar. Lalu ia datang kepada beliau dengan seekor kambing dan satu dinar. Beliau mendoakan agar jual-belinya diberkahi Allah, sehingga kalaupun ia membeli debu, ia akan memperoleh keuntungan. Riwayat Imam Lima kecuali Nasa’i. Bukhari meriwayatkan hadits tersebut dalam salah satu riwayatnya, namun lafadznya tidak seperti itu

Hadits ke-41
Tirmidzi juga mengeluarkan satu saksi dari hadits Hakim Ibnu Hizam.

Hadits ke-42
Dari Abu Said al-Khudry Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang melakukan jual-beli anak yang masih berada dalam kandungan hewan sebelum dilahirkan, susu yang masih berada dalam teteknya, seorang hamba yang melarikan diri, harta rampasan yang belum dibagi, zakat yang belum diterima, dan hasil seorang penyelam. Riwayat Ibnu Majah dan al-Bazzar. Daruquthni juga meriwayatkan dengan sanad lemah.

Hadits ke-43
Dari Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah membeli ikan dalam air karena ia tidak jelas.” Riwayat Ahmad. Ia memberi isyarat bahwa yang benar hadits ini mauquf.

Hadits ke-44
Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang menjual buah-buahan hingga masak, bulu yang masih melekat di punggung (hewan hidup), dan susu dalam tetek. Riwayat Thabrani dalam kitab al-Ausath. dan Daruquthni. Abu Dawud meriwayatkan dalam hadits-hadits mursal ikrimah, ia juga meriwayatkan secara mauquf dari Ibnu Abbas dengan sanad kuat yang diperkuat oleh Baihaqi.

Hadits ke-45
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang jual-beli anak hewan dalam kandungan dan mani ternak jantan. Riwayat al-Bazzar dengan sanad lemah.

Hadits ke-46
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa membebaskan jual-beli seorang muslim, Allah akan membebaskan kesalahannya.” Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.

Hadits ke-47
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila dua orang melakukan jual-beli, maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan atau meneruskan jual-beli) selama mereka belum berpisah dan masih bersama; atau selama salah seorang di antara keduanya tidak menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual-beli atas dasar itu, maka jadilah jual-beli itu. Jika mereka berpisah setelah melakukan jual-beli dan masing-masing orang tidak mengurungkan jual-beli, maka jadilah jual-beli itu.” Muttafaq Alaihi. Dan lafadznya menurut riwayat Muslim.

Hadits ke-48
Dari Amar Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar sebelum keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan masing-masing pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jual-beli dibatalkan.” Riwayat Imam Lima kecuali Ibnu Majah, Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu al-Jarus. Dalam suatu riwayat: “Hingga keduanya meninggalkan tempat mereka.”

Hadits ke-49
Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Ada seseorang mengadu kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bahwa ia tertipu dalam jual beli. Lalu beliau bersabda: “Jika engkau berjual-beli, katakanlah: Jangan melakukan tipu daya.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-50
Jabir Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda: “Mereka itu sama.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-51
Bukhari juga meriwayatkan hadits semisal dair Abu Juhaifah.

Hadits ke-52
Dari Abdullah Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Riba itu mempunyai 73 pintu, yang paling ringan ialah seperti seorang laki-laki menikahi ibunya dan riba yang paling berat ialah merusak kehormatan seorang muslim.” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan ringkas dan Hakim dengan lengkap, dan menurutnya hadits itu shahih.

Hadits ke-53
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah menjual emas dengan emas kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain, dan janganlah menjual perak yang tidak tampak dengan yang tampak.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-54
Dari Ubadah al-Shomit bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “(Diperbolehkan menjual) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama sebanding, sejenis, dan ada serah terima.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-55
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “(Diperbolehkan menjual) emas dengan emas yang sama timbangannya dan sama sebanding, dan perak dengan perak yang sama timbangannya dan sama sebanding. Barangsiapa menambah atau meminta tambahan maka itu riba.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-56
Dari Abu Said al-Khudry dan Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mengangkat seorang amil zakat untuk daerah Khaibar. Ia kemudian membawa kepada beliau kurma yang bagus; Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bertanya: “Apakah setiap kurma khaibar seperti ini?”. Ia menjawab: Demi Allah tidak, wahai Rasulullah. Kami menukar satu sho’ seperti ini dengan dua sho’, dan dua sho’ dengan tiga sho’. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Jangan lakukan itu, juallah semuanya dengan dirham, kemudian belilah kurma yang bagus dengan dirham tersebut.” Beliau bersabda: ” Demikian juga dengan benda-benda yang ditimbang.” Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: “Demikian pula benda-benda yang ditimbang.”

Hadits ke-57
Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang jual-beli setumpuk kurma yang tidak diketahui takarannya dengan kurma yang diketahui takarannya. Riwayat Muslim.

Hadits ke-58
Ma’mar Ibnu Abdullah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Makanan dengan makanan yang sama sebanding.” Makanan kami pada hari itu adalah sya’ir. Riwayat Muslim.

Hadits ke-59
Fadlalah Ibnu Ubaid Radliyallaahu ‘anhu berkata: Pada hari perang Khaibar aku membeli kalung emas bermanik seharga dua belas dinar. Setelah manik-manik itu kulepas ternyata ia lebih dari dua belas dinar. Lalu aku beritahukan hal itu kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, dan beliau bersabda: “Tidak boleh dijual sebelum dilepas.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-60
Dari Samurah Ibnu Jundab bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang jual-beli hewan dengan hewan penundaan. Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu al-Jarud.

Hadits ke-61
Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Jika engkau sekalian berjual-beli dengan ‘inah (hanya sekedar mengejar keuntungan materi belaka), selalu membuntuti ekor-ekor sapi, hanya puas menunggui tanaman, dan meninggalkan jihad maka Allah akan meliputi dirimu dengan suatu kehinaan yang tidak akan dicabut sebelum kamu kembali kepada agamamu.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Nafi’, dan dalam sanadnya ada pembicaraan. Ahmad meriwayatkan dari Atho’ dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya dan dinilai shahih oleh Ibnu Qoththon.

Hadits ke-62
Dari Abu Umamah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa memberi syafa’at (menjadi perantara untuk suatu kebaikan) kepada saudaranya, lalu ia diberi hadiah dan diterimanya, maka ia telah mendatangi sebuah pintu besar dari pintu-pintu riba.” Riwayat Ahmad dan Abu Dawud, dan dalam sanadnya ada pembicaraan.

Hadits ke-63
Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-‘Ash Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melaknat orang yang memberi dan menerima suap. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi.

Hadits ke-64
Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-‘Ash Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menyuruhnya untuk menyiapkan pasukan tentara, tetapi unta-unta telah habis. Lalu beliau menyuruhnya agar menghutang dari unta zakat. Ia berkata: Aku menghutang seekor unta akan dibayar dengan dua ekor unta zakat. Riwayat Hakim dan Baihaqi dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.

Hadits ke-65
Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang jual-beli muzabanah, yaitu seseorang yang menjual buah kebunnya, jika kurma basah dijual dengan kurma kering bertakar, anggur basah dijual dengan anggur kering bertakar, dan tanaman kering dijual dengan makanan kering bertakar. Beliau melarang itu semua. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-66
Sa’ad Ibnu Abu waqqash Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam ditanya tentang hukumnya membeli kurma basah dengan kurma kering. Beliau bersabda: “Apakah kurma basah itu berkurang jika mengering?”. Ia menjawab: Ya. Lalu beliau melarang hal itu. Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Hakim.

Hadits ke-67
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang jual-beli yang kemudian dengan yang kemudian, yakni hutang dengan hutang. Riwayat Ishaq dan al-Bazzar dengan sanad lemah.

Hadits ke-68
Dari Zaid Ibnu Tsabit Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memberi keringanan dalam ariyah (pohon yang diserahkan perawatannya pada orang lain untuk diambil buahnya); untuk dijual buahnya dengan tangkainya dengan menggunakan takaran. Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memberi keringanan dalam ariyah, yaitu penghuni rumah (pemilik pohon yang menyerahkan perawatan pohon tersebut kepada orang lain) boleh memberi kurma basah dengan kurma kering agar mereka dapat memakan kurma basah.

Hadits ke-69
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memberi keringanan menjual buah kurma ariyah yang masih ditangkainya (basah) dengan kurma kering selama masih kurang dari lima wasaq (1 wasaq : 21 kg). Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-70
Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang menjual buah-buahan yang belum kelihatan baik. Beliau melarang penjual dan pembeli. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat: Apabila beliau ditanya tentang buah yang baik, beliau bersabda: “Sampai penyakitnya hilang.”

Hadits ke-71
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang menjual buah-buahan sehingga baik. Ada orang yang bertanya: Apa pertanda baiknya? Beliau menjawab: “Memerah atau menguning.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.

Hadits ke-72
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang menjual buah anggur hingga berwarna hitam dan menjual biji-bijian hingga keras. Riwayat Imam Lima kecuali Nasa’i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.

Hadits ke-73
Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Seandainya engkau menjual kurma kepada saudaramu, kemudian ia membusuk, maka tidak halal engkau mengambil apapun darinya. Dengan jalan apa engkau boleh mengambil harta saudaramu secara tidak hak?.” Riwayat Muslim. Dalam suatu riwayatnya yang lain: Bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan untuk meletakkan (tidak menjual) kurma yang busuk.

Hadits ke-74
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa menjual pohon kurma setelah dikawinkan, maka buahnya adalah pemilik penjual pohon tersebut, kecuali jika pembeli memberikan persyaratan dahulu.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-75
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: “Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu.” Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: “Barangsiapa meminjamkan sesuatu.”

Hadits ke-76
Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu ‘anhu berkata: Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu kami beri pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya’ir, dan anggur kering -dalam suatu riwayat- dan minyak untuk suatu masa tertentu. Ada orang bertanya: Apakah mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka. Riwayat Bukhari.

Hadits ke-77
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa mengambil harta orang dengan maksud mengembalikannya, maka Allah akan menolongnya untuk dapat mengembalikannya; dan barangsiapa mengambilnya dengan maksud menghabiskannya, maka Allah akan merusaknya.” Riwayat Bukhari.

Hadits ke-78
‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku berkata, wahai Rasulullah, sesungguhnya barang-barang pakaian telah datang pada si Fulan dari Syam. Seandainya baginda mengutus seseorang kepadanya, baginda akan dapat mengambil dua buah pakaian dengan pembayaran nanti pada saat kemudahan. Lalu beliau mengutus seseorang kepadanya, namun pemiliknya menolak. Dikeluarkan oleh Hakim dan Baihaqi dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.

Hadits ke-79
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Punggung hewan yang digadaikan boleh dinaiki dengan membayar dan susu hewan yang digadaikan boleh diminum dengan membayar. Bagi orang yang menaiki dan meminumnya wajib membayar.” Riwayat Bukhari.

Hadits ke-80
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barang gadaian tidak menutup pemilik yang menggadaikannya, keuntungan untuknya dan kerugiannya menjadi tanggungannya.” Riwayat Daruquthni dan Hakim dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Namun yang terpelihara bagi Abu Dawud dan lainnya hadits itu mursal.

Hadits ke-81
Dari Abu Rafi’ Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah meminjam unta muda dari seseorang. Kemudian beliau menerima unta zakat, lalu beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan hutang untanya kepada orang tersebut. Abu Rafi’ berkata: Aku hanya menemukan unta berumur empat tahun. Beliau bersabda: “Berikanlah kepadanya, karena sebaik-baik orang ialah yang paling baik melunasi hutang.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-82
Dari Ali Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah saaw. bersabda: “Setiap hutang yang menarik manfaat adalah riba.” Riwayat Harits Ibnu Abu Usamah dan sanadnya terlalu lemah.

Hadits ke-83
Menurut riwayat Baihaqi ada saksi lemah dari Fadlalah Ibnu Ubaid.

Hadits ke-84
Ada hadits lain yang diriwayatkan Bukhari secara mauquf dari Abdullah Ibnu Salam.

Hadits ke-85
Dari Abu Bakar Ibnu Abdurrahman bahwa Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa menemukan barangnya benar-benar berada pada orang yang jatuh bangkrut (pailit), maka ia lebih berhak terhadap barang tersebut daripada orang lain.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-86
Abu Dawud dan Malik meriwayatkan dari Abu Bakar Ibnu Abdurrahman secara mursal dengan lafadz: “Jika ada orang yang menjual barang, kemudian pembeli barang tersebut jatuh miskin padahal ia belum membayar apapun dari harganya, sedang penjual masih mendapatkan barangnya utuh, maka ia lebih berhak terhadap barang tersebut; jika pembelinya meninggal dunia maka barang tersebut menjadi milik orang-orang yang memberi hutang.” Menurut Baihaqi hadits tersebut maushul, dan dha’if karena mengikuti Abu Dawud.

Hadits ke-87
Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dari Umar Ibnu Kholadah bahwa ia berkata: Kami datang kepada Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu menanyakan tentang teman kami yang bangkrut, lalu ia berkata: Aku berikan kepadamu suatu ketetapan hukum dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, yaitu: “Barangsiapa bangkrut atau meninggal dunia, lalu orang itu mendapatkan barangnya masih utuh, maka ia lebih berhak atas barang tersebut.” Hadits shahih menurut Hakim dan dha’if menurut Abu Dawud. Abu Dawud juga menilai dha’if keterangan tentang “meninggal dunia” pada hadits ini.

Hadits ke-88
Dari Amar Ibnu al-Syarid, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Orang mampu yang menangguhkan pembayaran hutang dihalalkan kehormatannya dan siksanya.” Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i. Hadits mu’allaq menurut Bukhari dan shahih menurut Ibnu Hibban.

Hadits ke-89
Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu ‘anhu berkata: Pada zaman Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam ada seseorang terkena musibah pembusukan pada buah-buahan yang dibelinya, lalu hutangnya menumpuk dan bangkrut. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Bersedekahlah kepadanya.” Lalu orang-orang bersedekah kepadanya, namun belum cukup melunasi hutangnya. Maka bersabdalah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam kepada orang-orang yang menghutanginya: “Ambillah apa yang kalian dapatkan karena hanya itulah milik kalian.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-90
Dari Ibnu Ka’ab Ibnu Malik, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah menahan harta benda milik Muadz dan menjualnya untuk melunasi hutangnya. Riwayat Daruquthni. Hadits shahih menurut Hakim dan mursal menurut tarjih Abu Dawud.

Hadits ke-91
Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku dihadapkan pada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam waktu perang Uhud ketika aku berumur 14 tahun, namun beliau belum membolehkanku (untuk ikut berperang). Aku dihadapkan lagi pada waktu perang khandaq ketika aku berumur 15 tahun dan beliau membolehkanku. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat Baihaqi: Beliau belum membolehkanku dan belum menganggapku telah dewasa. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah.

Hadits ke-92
Athiyyah al-Quradhy Radliyallaahu ‘anhu berkata: Kami dihadapkan pada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam waktu perang quraidhoh. Lalu orang yang telah tumbuh bulunya dibunuh dan yang belum tumbuh bulunya dibebaskan, sedang aku termasuk orang yang belum tumbuh bulunya, maka aku dibebaskan. Riwayat Imam Empat. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim, ia berkata: Hadits tersebut menurut persyaratan Bukhari-Muslim.

Hadits ke-93
Dari Amar Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak diperbolehkan bagi seorang istri memberikan sesuatu kecuali dengan seizin suaminya.” Dalam suatu lafadz: “Tidak diperbolehkan bagi seorang istri mengurus hartanya yang dimiliki oleh suaminya.” Riwayat Ahmad dan para pengarang kitab al-Sunan kecuali Tirmidzi. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-94
Dari Qabishoh Ibnu Mukhoriq Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya minta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi salah seorang di antara tiga macam orang, yaitu: Orang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta hingga dapat melunasinya, kemudian ia berhenti; orang yang terkena musibah yang menghabiskan hartanya. Ia boleh meminta-minta hingga mendapatkan sandaran hidup; dan orang yang ditimpa kefakiran hingga tiga orang yang mengetahuinya dari kalangan kaumnya berkata: Si Fulan telah ditimpa kefakiran, ia dibolehkan meminta-minta.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-95
Dari Amar Ibnu Auf al-Muzany Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah saaw. bersabda: “Perdamaian itu halal antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan hal yang haram atau menghalalkan hal yang haram. Kaum muslim wajib berpegang pada syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan hal yang halal atau menghalalkan yang haram.” Hadits shahih riwayat Tirmidzi. Namun banyak yang mengingkarinya karena seorang perawinya yang bernama Katsir Ibnu Abdullah Ibnu Amar Ibnu Auf adalah lemah. Mungkin Tirmidzi menganggapnya baik karena banyak jalannya.

Hadits ke-96
Ibnu Hibban menilainya shahih dari hadits Abu Hurairah r.a.

Hadits ke-97
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah seseorang melarang tetangganya memasang kayu galangan pada temboknya.” Kemudian Abu Hurairah berkata: Kenapa aku lihat kalian berpaling darinya? Demi Allah, aku benar-benar akan menaruh kayu-kayu itu di atas pundakmu. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-98
Dari Abu Humaid al-Sa’idy Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak halal bagi seseorang mengambil tongkat saudaranya dengan tanpa ridlonya.” Riwayat Ibnu Hibban dan Hakim dalam kitab shahih mereka.

Hadits ke-99
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Penangguhan (pembayaran hutang) orang kaya itu suatu kesesatan. Apabila seseorang di antara kamu hutangnya dipindahkan kepada orang yang mampu, hendaknya ia menerima.” Muttafaq Alaihi. Menurut suatu riwayat Ahmad: “Barangsiapa (hutangnya) dipindahkan, hendaknya ia menerima.”

Hadits ke-100
Jabir Radliyallaahu ‘anhu berkata: Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan kami tanyakan: Apakah baginda akan menyolatkannya?. Beliau melangkan beberapa langkah kemudian bertanya: “Apakah ia mempunyai hutang?”. Kami menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali. Maka Abu Qotadah menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu terbebas darinya.” Ia menjawab: Ya. Maka beliau menyolatkannya. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim.

Hadits ke-101
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bila didatangkan kepada beliau orang meninggal yang menanggung hutang, beliau bertanya: “Apakah ia meninggalkan sesuatu untuk melunasi hutangnya?”. Jika dikatakan bahwa ia meninggalkan sesuatu untuk melunasi hutangnya, beliau menyolatkannya. Jika tidak, beliau bersabda: “Sholatlah atas temanmu ini.” Tatkala Allah telahg memberikan beberapa kemenangan kepadanya, beliau bersabda: “Aku lebih berhak pada kaum mukminin daripada diri mereka sendiri. Maka barangsiapa meninggal dan ia memiliki hutang, akulah yang melunasinya.” Muttafaq Alaihi. Menurut suatu riwayat Bukhari: “Maka barangsiapa mati dan tidak meninggalkan harta pelunasan….”.

Hadits ke-102
Dari Amar Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak ada tanggungan, dalam pelaksanaan had.” Riwayat Baihaqi dengan sanad lemah.

Hadits ke-103
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Allah berfirman: Aku menjadi orang ketiga dari dua orang yang bersekutu selama salah seorang dari mereka tidak berkhianat kepada temannya. Jika ada yang berkhianat, aku keluar dari (persekutuan) mereka.” Riwayat Abu Dawud dan dinilai shahih oleh Hakim.

Hadits ke-104
Dari al-Saib al-Mahzumy Radliyallaahu ‘anhu bahwa ia dahulu adalah sekutu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Ketika ia datang pada hari penaklukan kota Mekkah, beliau bersabda: “Selamat datang wahai saudaraku dan sekutuku.” Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah.

Hadits ke-105
Abdullah Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku, Ammar, dan Sa’ad bersekutu dalam harta rampasan yang akan kami peroleh dari perang Badar. Hadits riwayat Nasa’i.

Hadits ke-106
Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku akan keluar menuju Khaibar, lalu aku menghadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan beliau bersabda: “Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah darinya 15 wasaq.” Hadits shahih riwayat Abu Dawud.

Hadits ke-107
Dari Urwah al-Bariqy Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah mengutusnya dengan uang satu dinar untuk membelikan beliau hewan qurban. Hadits Bukhari meriwayatkannya di tengah-tengah suatu hadits sebagaimana tersebut dalam hadits dahulu (no.40).

Hadits ke-108
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mengutus Umar untuk mengambil zakat. Hadits. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-109
Dari Jabir Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menyembelih 63 ekor dan menyuruh Ali Radliyallaahu ‘anhu untuk menyembelih sisanya. Hadits diriwayatkan oleh Muslim.

Hadits ke-110
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu tentang kisah pelaku (zina), Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Pergilah, wahai Unais, menemui perempuan orang ini. Jika ia mengaku, rajamlah ia.” Hadits. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-111
Abu Dzar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepadaku: “Katakanlah yang benar walaupun ia pahit.” Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dari hadits yang panjang.”

Hadits ke-112
Dari Samurah Ibnu Jundab bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tangan bertanggung jawab terhadap apa yang ia ambil sampai ia mengembalikannya.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-113
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tunaikanlah amanat kepada orang yang memberimu amanat dan janganlah berkhianat kepada orang yang menghianatimu.” Riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud. Hadits hasan menurut Abu Dawud, shahih menurut Hakim, dan munkar menurut Abu Hatim Ar-Razi. Hadits itu diriwayatkan juga oleh segolongan huffadz. Ia mencakup masalah pinjaman.

Hadits ke-114
Ya’la Ibnu Umayyah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepadaku: “Apabila utusanku datang kepadamu, berikanlah kepada mereka tiga puluh baju besi.” Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah pinjaman yang ditanggung atau pinjaman yang dikembalikan? Beliau bersabda: “Pinjaman yang dikembalikan.” Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

Hadits ke-115
Dari Shofwan Ibnu Umayyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam meminjam darinya beberapa baju besi sewaktu perang Hunain. Ia bertanya: Apakah ia rampasan, wahai Muhammad. beliau menjawab: “Tidak, ia pinjaman yang ditanggung.” Riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan Nasa’i. Hadits shahih menurut Hakim.

Hadits ke-116
Hakim juga meriwayatkannya dengan saksi lemah dari Ibnu Abbas r.a.

Hadits ke-117
Dari Said Ibnu Zaid Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa mengambil sejengkal tanah dengan dlalim, Allah akan mengalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-118
Dari Anas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam sedang berada di rumah salah seorang istrinya. Lalu salah satu istrinya yang lain mengutus seorang pelayan membawa sebuah piring yang berisi makanan. Kemudian ia (istri yang serumah dengan beliau) memukul dengan tangannya dan pecahlah piring tersebut. Beliau menangkupkan piring itu dan meletakkan makanan di atasnya, lalu bersabda: “Makanlah.” Kemudian beliau mengembalikan piring yang baik kepada pesuruh itu dan menyimpan piring yang pecah. Riwayat Bukhari dan Tirmidzi, dan dia menyebut pemukul tersebut adalah ‘Aisyah, dan menambahkan: Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Makanan diganti makanan dan bejana diganti bejana.” Hadits shahih menurutnya.

Hadits ke-119
Dari Rafi’ Ibnu Khodij Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa menanam di atas tanah suatu kaum tanpa seizin mereka, maka ia tidak memiliki apapun dari tanaman itu, namun ia mendapat nafkah (belanja).” Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Nasa’i. Hadits hasan menurut Tirmidzi. Dikatakan bahwa Bukhari menilainya hadits dha’if.

Hadits ke-120
Dari Urwah Ibnu al-Zubair Radliyallaahu ‘anhu bahwa seorang sahabat Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam berkata: Ada dua orang bertengkar mengadu kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam masalah tanah. Salah seorang di antara mereka telah menanam pohon kurma di atas tanah milik yang lain. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memutuskan tanah tetap menjadi milik siempunya dan menyuruh pemilik pohon kurma untuk mencabut pohonnya, dan beliau bersabda: “Akar yang dlalim tidak punya hak.” Riwayat Abu Dawud dan sanadnya hasan

Hadits ke-121
Akhir hadits itu menurut pengarang-pengarang kitab al-Sunan dari riwayat Urwah, dari Said Ibnu Zaid. Tentang maushul dan mursalnya hadits tersebut serta penentuan para perawinya masih ada pertentangan.

Hadits ke-122
Dari Abu Bakrah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada khutbahnya hari raya Kurba di Mina: “Sesungguhnya darahmu dan hartamu adalah haram atasmu sebagaimana haramnya harimu ini, pada bulanmu ini, di negerimu ini.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-123
Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam telah menetapkan berlakunya syuf’ah (hak membeli bagian dari dua orang yang bersekutu) pada setiap sesuatu yang belum dibagi. Apabila telah dibatasi dan telah diatur peraturannya, maka tidak berlaku syuf’ah. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.

Hadits ke-124
Menurut riwayat Muslim: Syu’fah itu berlaku dalam setiap persekutuan, baik dalam tanah, kampung, atau kebun. Tidak boleh – dalam suatu lafadz- tidak halal menjualnya hingga ditawarkan kepada sekutunya. Menurut riwayat Thahawi: Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menetapkan berlakunya Syuf’ah dalam segala sesuatu. Para perawinya dapat dipercaya.

Hadits ke-125
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tetangga sebelah rumah lebih berhak terhadap rumah itu.” Riwayat Nasa’i, dinilai shahih oleh Ibnu Hibban, dan ia mempunyai illah.

Hadits ke-126
Dari Abu Rafi’ Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tetangga itu lebih berhak karena kedekatannya.” Riwayat Bukhari dan Hakim. Hadits tersebut mempunyai kisah.

Hadits ke-127
Dari Jabir Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tetangga itu lebih berhak dengan syuf’ah tetangganya, ia dinanti -walaupun sedang pergi- jika jalan mereka satu.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Para perawinya dapat dipercaya.

Hadits ke-128
Dari Ibnu Umar bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Syuf’ah itu laksana melepaskan unta.” Riwayat Ibnu Majah dan al-Bazzar dengan tambahan: “Tidak ada syuf’ah bagi orang yang pergi.” Sanadnya lemah.

Hadits ke-129
Dari Shuhaib Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tiga hal yang didalamnya ada berkah adalah jual-beli bertempo, ber-qiradl (memberikan modal kepada seseorang hasil dibagi dua), dan mencampur gandum dengan sya’ir untuk makanan di rumah, bukan untuk dijual.” Riwayat Ibnu Majah dengan sanad lemah.

Hadits ke-130
Dari Hakim Ibnu Hizam bahwa disyaratkan bagi seseorang yang memberikan modal sebagai qiradl, yaitu: Jangan menggunakan modalku untuk barang yang bernyawa, jangan membawanya ke laut, dan jangan membawanya di tengah air yang mengalir. Jika engkau melakukan salah satu di antaranya, maka engkaulah yang menanggung modalku. Riwayat Daruquthni dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Malik berkata dalam kitabnya al-Muwattho’, dari Ala’ Ibnu Abdurrahman Ibnu Ya’qub, dari ayahnya, dari kakeknya: Bahwa ia pernah menjalankan modal Utsman dengan keuntungan dibagi dua. Hadits mauquf shahih

Hadits ke-131
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa buah-buahan dan tanaman. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat Bukhari-Muslim: Mereka meminta beliau menetapkan mereka mengerjakan tanah (Khaibar) dengan memperoleh setengah dari hasil kurma, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Kami tetapkan kalian dengan ketentuan seperti itu selama kami menghendaki.” Lalu mereka mengakui dengan ketetapan itu samapi Umar mengusir mereka. Menurut riwayat Muslim: Bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memberikan pohon kurma dan tanah Khaibar kepada kaum Yahudi di Khaibar dengan perjanjian mereka mengerjakan dengan modal mereka dan bagi mereka setengah dari hasil buahnya.

Hadits ke-132
Hanzholah Ibnu Qais Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku bertanya kepada Rafi’ Ibnu Khadij tentang menyewakan tanah dengan emas dan perak. Ia berkata: Tidak apa-apa. Orang-orang pada zaman Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menyewakan tanah dengan imbalan pepohonan yang tumbuh di tempat perjalanan air, pangkal-pangkal parit, dan aneka tumbuhan. Lalu dari tetumbuhan itu ada yang hancur dan ada yang selamat, sedang orang-orang tidak mempunyai sewaan lainnya kecuali ini. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang hal itu. Adapun imbalan dengan barang yang nyata dan terjamin, maka tidak apa-apa. Riwayat Muslim. Dalam hadits ini ada penjelasan menyeluruh tentang larangan menyewakan tanah dalam hadits Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-133
Dari Tsabit Ibnu ad-Dlahak Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang muzara’ah (sama dengan musaqat, yaitu memberikan tanah garapan kepada orang lain dengan bagi hasil menurut perjanjian) dan memerintahkan sewa-menyewakan. Riwayat Muslim.

Hadits ke-134
Ibnu Abbas berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam berbekam dan memberikan upah kepada orang yang membekamnya. Seandainya hal itu haram beliau tidak akan memberinya upah. Riwayat Bukhari.

Hadits ke-135
Dari Rafi’ Ibnu Khodij Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Pekerjaan tukang bekam adalah jelek.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-136
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Tiga orang yang Aku menjadi musuhnya pada hari kiamat ialah: Orang yang memberi perjanjian dengan nama-Ku kemudian berkhianat, orang yang menjual orang merdeka lalu memakan harganya, dan orang yang mempekerjakan seorang pekerja, lalu pekerja itu bekerja dengan baik, namun ia tidak memberikan upahnya.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-137
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Hal yang paling patut kamu ambil upahnya ialah Kitabullah.” Dikeluarkan oleh Bukhari.

Hadits ke-138
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum mengering keringatnya.” Riwayat Ibnu Majah.

Hadits ke-139
Dalam masalah ini ada hadits dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu riwayat Abu Ya’la dan Baihaqi, dan dari Jabir riwayat Thabrani. Namun semuanya lemah.

Hadits ke-140
Idem

Hadits ke-141
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa mempekerjakan seorang pekerja hendaknya ia menentukan upahnya.” Riwayat Abdul Razzaq dalam hadits munqathi’. Hadits maushul menurut Baihaqi dari jalan Abu Hanifah.

Hadits ke-142
Dari Urwah, dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa memakmurkan tanah yang tidak dimiliki oleh siapapun maka ia lebih berhak dengan tanah tersebut.” Urwah berkata: Umar memberlakukan hukum itu pada masa khilafahnya. Riwayat Bukhari.

Hadits ke-143
Dari Said Ibnu Zaid Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu miliknya.” Riwayat Imam Tiga. Hadits hasan menurut Tirmidzi dan ia berkata: hadits itu diriwayatkan dengan mursal dan ada perselisihan tentang shahabatnya. Ada yang mengatakan (shahabatnya ialah) Jabir, ada yang mengatakan ‘Aisyah, dan ada yang mengatakan Umar. Yang paling kuat ialah yang pertama.

Hadits ke-144
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa al-Sho’b Ibnu Jatsamah Al-Laitsy memberitahukan kepadanya bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak ada pembatasan tanah kecuali milik Allah dan Rasul-Nya.” Riwayat Bukhari.

Hadits ke-145
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Jangan membuat kesusahan dan jangan membalasnya.” Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah.

Hadits ke-146
Dalam riwayatnya yang lain ada hadits serupa dari Abu Said, dalam kitab al-Muwattho’ hadits itu mursal.

Hadits ke-147
Dari Samurah Ibnu Jundab Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa membatasi suatu tanah, maka ia menjadi miliknya.” Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih menurut Ibnu Jarud.

Hadits ke-148
Dari Abdullah Ibnu Mughoffal bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa mengali sebuah sumur, maka baginya empat puluh hasta untuk minuman ternaknya.” Riwayat Ibnu Majah dengan sanad lemah.

Hadits ke-149
Dari Alqomah Ibnu Wail, dari ayahnya, bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memberikan kepadanya sepetak tanah di Hadlramaut. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

Hadits ke-150
Dari Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memberi tanah kepada Zubair sejauh lari kudanya, maka ia melarikan kudanya hingga berhenti. Kemudian ia melempar cemetinya. Lalu beliau bersabda: “Berikan padanya sejauh lemparan cemetinya.” Riwayat Abu Dawud dan didalamnya ada kelemahan.

Hadits ke-151
Salah seorang sahabat Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku berperang bersama Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan aku mendengar beliau bersabda: “Orang-orang bersekutu dalam tiga hal: rerumputan, air dan api.” Riwayat Ahmad dan Abu Dawud. Para perawinya dapat dipercaya.

Hadits ke-152
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila ada orang meninggal dunia terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal, yaitu: Sedekah jariyah (yang mengalir), atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakan untuknya.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-153
Ibnu Umar berkata: Umar Radliyallaahu ‘anhu memperoleh bagian tanah di Khaibar, lalu menghadap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam untuk meminta petunjuk dalam mengurusnya. Ia berkata: Wahai Rasulullah, aku memperoleh sebidang tanah di Khaibar, yang menurutku, aku belum pernah memperoleh tanah yang lebih baik daripadanya. Beliau bersabda: “Jika engkau mau, wakafkanlah pohonnya dan sedekahkanlah hasil (buah)nya.” Ibnu Umar berkata: Lalu Umar mewakafkannya dengan syarat pohonnya tidak boleh dijual, diwariskan, dan diberikan. Hasilnya disedekahkan kepada kaum fakir, kaum kerabat, para hamba sahaya, orang yang berada di jalan Allah, musafir yang kehabisan bekal, dan tamu. Pengelolanya boleh memakannya dengan sepantasnya dan memberi makan sahabat yang tidak berharta. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Muslim.

Hadits ke-154
Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam mengutus Umar untuk memungut zakat -hadits dan didalamnya disebutkan- adapun Kholid, dia telah mewakafkan baju-baju besi dan peralatan perangnya untuk membela jalan Allah. Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-155
Dari Nu’man Ibnu Basyir bahwa ayahnya pernah menghadap Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan berkata: Aku telah memberikan kepada anakku ini seorang budak milikku. Lalu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bertanya: “Apakah setiap anakmu engkau berikan seperti ini?” Ia menjawab: Tidak. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Kalau begitu, tariklah kembali.” Dalam suatu lafadz: Menghadaplah ayahku kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam agar menyaksikan pemberiannya kepadaku, lalu beliau bersabda: “Apakah engkau melakukan hal ini terhadap anakmu seluruhnya?”. Ia menjawab: Tidak. Beliau bersabda: “Takutlah kepada Allah dan berlakulah adil terhadap anak-anakmu.” Lalu ayahku pulang dan menarik kembali pemberian itu. Muttafaq Alaihi. Dalam riwayat Muslim beliau bersabda: “Carikan saksi lain selain diriku dalam hal ini.” Kemudian beliau bersabda: “Apakah engkau senang jika mereka (anak-anakmu) sama-sama berbakti kepadamu?”. Ia Menjawab: Ya. Beliau bersabda: “kalau begitu, jangan lakukan.”

Hadits ke-156
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Orang yang menarik kembali pemberiannya bagaikan anjing yang muntah kemudian menjilat kembali muntahannya.” Muttafaq Alaihi. Dalam riwayat Bukhari: “Kami tidak mempunyai perumpamaan yang buruk, bagi orang yang menarik kembali pemberiannya bagaikan anjing yang muntah kemudian menjilat kembali muntahannya.”

Hadits ke-157
Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak halal bagi seorang muslim memberikan suatu pemberian kemudian menariknya kembali, kecuali seorang ayah yang menarik kembali apa yang diberikan kepada anaknya.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim.

Hadits ke-158
‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu berkata: rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah menerima hadiah dan membalasnya. Riwayat Bukhari.

Hadits ke-159
Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu berkata: Ada seseorang memberi seekor unta kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam, lalu beliau membalasnya dan bertanya: “Apakah engkau telah rela?”. Ia menjawab: Tidak. Lalu beliau menambah dan bertanya: “Engkau telah rela?”. Ia menjawab: Tidak. Lalu beliau menambah lagi dan bertanya: “Engkau telah rela?”. Ia menjawab: Ya. Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

Hadits ke-160
Dari Jabir Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Umra (memberikan rumah kepada orang lain dengan ucapan: Aku memberikan rumah ini seumur hidupmu) itu menjadi milik bagi orang yang diberi.” Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: “Jagalah hartamu dan janganlah menghamburkannya, karena barangsiapa ber-umra maka ia menjadi milik orang yang diberi umra selama ia hidup dan mati, dan menjadi milik keturunannya.” Umra yang diperbolehkan oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam ialah bila ia berkata: Ia milikmu dan keturunanmu. Jika ia berkata: Ia milikmu selama engkau hidup, maka pemberian itu akan kembali kepada pemiliknya. Menurut Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i: “Janganlah memberi ruqba (memberi rumah kepada orang lain dengan ucapan: Jika aku mati sebelummu, maka rumah ini menjadi milikmu dan jika engkau mati sebelumku, maka rumah ini kembali padaku) dan umra karena barangsiapa menerima ruqba dan umra maka ia menjadi milik ahli warisnya.”

Hadits ke-161
Umar berkata: Aku pernah memberikan seekor kuda untuk perjuangan di jalan Allah, namun orang yang diberi kuda itu mentelantarkannya. Lalu aku mengira bahwa ia akan menjualnya dengan harga yang murah. Maka aku tanyakan hal itu kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan beliau bersabda: “Jangan membelinya walaupun ia memberimu harga satu dirham.” Hadits Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-162
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Saling memberi hadiahlah kamu sekalian, agar kalian saling mencintai.” Riwayat Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad dan Abu Ya’la dengan sanad hasan.

Hadits ke-163
Dari Anas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: Saling memberi hadiahlah karena hadiah itu akan menghilangkan kedengkian.” Riwayat al-Bazzar dengan sanad lemah.

Hadits ke-164
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Wahai kaum muslimat, janganlah sekali-kali seorang wanita meremehkan pemberian tetangganya walaupun hanya ujung kaki kambing.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-165
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa memberikan suatu hibah, ia lebih berhak untuk menariknya sebelum dibalas.” Hadits shahih riwayat Hakim. Menurutnya yang terpelihara dari hadits itu ialah diriwayatkan oleh Umar dari Umar.

Hadits ke-166
Anas berkata: Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah melewati sebuah kurma di jalan. Lalu bersabda: “Seandainya aku tidak khawatir bahwa kurma itu dari zakat, niscaya aku memakannya.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-167
Zaid Ibnu Khalid al-Juhany berkata: Ada seseorang datang kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menanyakan tentang barang temuan. Beliau bersabda: “Perhatikan tempat dan pengikatnya, lalu umumkan selama setahun. Jika pemiliknya datang, berikanlah dan jika tidak, maka terserah engkau.” Ia bertanya: Bagaimana dengan kambing yang tersesat?. Beliau menjawab: “Ia milikmu, atau milik saudaramu, atau milik serigala.” Ia bertanya lagi: Bagaimana dengan unta yang tersesat?. Beliau bersabda: “Apa hubungannya denganmu? Ia mempunyai kantong air dan sepatu, ia bisa datang ke tempat air dan memakan tetumbuhan, hingga pemiliknya menemukannya.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-168
Dari Zaid Ibnu al-Juhany Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa menyembunyikan hewan yang tersesat, ia adalah orang sesat selama belum mengumumkannya.” Riwayat Muslim.

Hadits ke-169
Dari Iyadl Ibnu Himar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa menemukan barang hilang, hendaknya ia mencari kesaksian dua orang adil, menjaga tempat dan pengikatnya, serta tidak menyembunyikan dan menghilangkannya. Apabila pemiliknya datang, ia lebih berhak dengannya. Apabila tidak datang, ia adalah harta Allah yang bisa diberikan kepada orang yang dikehendaki.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah, Ibnu Al-Jarud dan Ibnu Hibban.

Hadits ke-170
Dari Abdurrahman Ibnu Utsman al-Taimy Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang mengambil barang hilang milik orang haji. Riwayat Muslim.

Hadits ke-171
Dari a-Miqdam Ibnu Ma’di Karib Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Ingatlah, tidak halal binatang buas bertaring, keledai negeri, dan mengambil barang temuan milik orang kafir mu’ahad (orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin) kecuali ia tidak memerlukannya lagi.” Riwayat Abu Dawud.

Hadits ke-172
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Berikan bagian warisan kepada ahli warisnya, selebihnya adalah milik laki-laki yang paling dekat.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-173
Dari Usamah Ibnu Zaid Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang muslim.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-174
Dari Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu tentang (bagian warisan) anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan -Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menetapkan: untuk anak perempuan setengah, cucu perempuan seperenam -sebagai penyempurna dua pertiga- dan selebihnya adalah milik saudara perempuan. Riwayat Bukhari.

Hadits ke-175
Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak bisa saling mewarisi orang yang berlainan agama.” Riwayat Ahmad, Imam Empat, dan Tirmidzi. Hakim meriwayatkan dengan lafadz Usamah dan Nasa’i meriwayatkan hadits Usamah dengan lafadz ini.

Hadits ke-176
Imran Ibnu Hushoin Radliyallaahu ‘anhu berkata: Ada seseorang datang kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan berkata: Cucu laki-laki dari putraku meninggal dunia, berapa bagianku dari harta peninggalannya? Beliau bersabda: “Untukmu seperenam.” Ketika dia berpaling beliau memanggilnya dan bersabda: “Untukmu seperenam lagi.” Ketika dia berpaling beliau memanggilnya dan bersabda: “Yang seperenam lagi itu sebagai makanan.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi dari riwayat Hasan Bashri dari Imran. Ada yang mengatakan: Dia tidak mendengar darinya.

Hadits ke-177
Dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menetapkan bagian seperenam untuk nenek bila dibawahnya tidak ada ibu (ibu sang mayit). Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i. Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Al-Jarud, dan dikuatkan oleh Ibnu Adiy.

Hadits ke-178
Dari al-Miqdam Ibnu Ma’di Karib bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Paman dari pihak ibu menjadi pewaris orang yang tidak memiliki ahli waris.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Tirmidzi. Hadits hasan menurut Abu Zara’ah al-Razy dan shahih menurut Hakim dan Ibnu Hibban.

Hadits ke-179
Abu Umamah Ibnu Sahal Radliyallaahu ‘anhu berkata: Umar mengirim surat kepada Abu Ubaidah bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Allah dan Rasul-Nya menjadi pelindung orang yang tidak punya pelindung, dan paman dari pihak ibu menjadi pewaris orang yang tidak memiliki ahli waris.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Abu Dawud. Hasan menurut Tirmidzi dan shahih menurut Ibnu Hibban.

Hadits ke-180
Dari Jabir Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila anak yang lahir menangis, ia sudah menjadi ahli waris.” Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

Hadits ke-181
Dari Amar Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Pembunuh tidak mendapat warisan apapun (dari yang dibunuh).” Riwayat Nasa’i dan Daruquthni, dan dikuatkan oleh Abdul Bar. Hadits ma’lul menurut Nasa’i dan sebenarnya hadits ini mauquf pada Amar.

Hadits ke-182
Umar Ibnu al-Khaththab Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apa yang diperoleh oleh ayah atau anak adalah untuk ashabah, siapapun dia.” Riwayat Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu Majah.

Hadits ke-183
Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Wala itu satu pertalian daging seperti pertalian daging keturunan, ia tidak boleh dijual dan diberikan.” Riwayat Hakim dari jalan Syafi’i dari Muhammad Ibnu al-Hasan, dari Abu Yusuf. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan ma’lul menurut Baihaqi.

Hadits ke-184
Dari Abu Qilabah, dari Anas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Orang yang paling mengetahui faraidl di antara kamu adalah Zaid Ibnu Tsabit.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Abu Dawud. Hadits shahih menurut Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Hakim. Hadits tersebut mursal.

Hadits ke-185
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Seorang muslim tidak berhak mewasiatkan sesuatu yang ia miliki kurang dari dua malam (hari), kecuali jika wasiat itu tertulis disisinya.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-186
Saad Ibnu Waqqash Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku berkata, wahai Rasulullah, aku mempunyai harta dan tidak ada yang mewarisiku kecuali anak perempuanku satu-satunya. Bolehkah aku bersedekah dengan dua pertiga hartaku? Beliau menjawab: “Tidak boleh.” Aku bertanya: Apakah aku menyedekahkan setengahnya? Beliau menjawab: “Tidak boleh.” Aku bertanya lagi: Apakah aku sedekahkan sepertiganya? Beliau menjawab: “Ya, sepertiga, da sepertiga itu banyak. Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu kaya lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan fakit meminta-minta kepada orang.” Muttafaq Alaihi.

Hadits ke-187
Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah, ibuku telah mati secara mendadak dan ia belum berwasiat. Aku kira, bila ia sempat berbicara ia akan bersedekah. Apakah ia mendapat pahala jika aku bersedekah untuknya? Beliau bersabda: “Ya.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim.

Hadits ke-188
Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada tiap-tiap yang berhak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat kecuali Nasa’i. Hadits hasah menurut Ahmad dan Tirmidzi, dan dikuatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu al-Jarud.

Hadits ke-189
Daruquthni meriwayatkan dair hadits Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu dengan tambahan di akhir hadits: “Kecuali ahli waris menyetujui.” Dan sanadnya hasan.

Hadits ke-190
Dari Muadz Ibnu Jabal Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah mengizinkan kepadamu bersedekah sepertiga dari hartamu waktu kamu akan meninggal untuk menambah kebaikanmu.” Riwayat Daruquthni.

Hadits ke-191
Ahmad dan Al-Bazzar juga meriwayatkan dari hadits Abu Darda’.

Hadits ke-192
Ibnu Majah meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu dan semuanya dha’if, namun saling menguatkan. Wallahu a’lam.

Hadits ke-193
Dari Amar Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa dititipi suatu titipan, maka tidak ada tanggungan atasnya.” Riwayat Ibnu Majah dan dalam sanadnya ada kelemahan.


Sumber: Kitab Hadits Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, Oleh : Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqolani.
http://www.mutiara-hadits.co.nr/


.:: HaditsWeb ::.

 

Pintu Pahala

Taubat, “Barangsiapa bertaubat sebelum terbitnya matahari dari arah barat, niscaya Allah akan menerima taubatnya.” (HR. Muslim : 2703) “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menerima taubat seorang hamba selama belum meregang ajalnya.”

Keluar untuk mencari ilmu, “Barangsiapa keluar untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan ke Surga.” (HR. Muslim : 2699)

Dzikir kepada Allah, “Maukah kalian aku beritahu tentang suatu perbuatan yang terbaik bagimu, tersuci bagi Tuhanmu, tertinggi dalam derajatmu, lebih baik daripada menafkahkan emas dan perak serta lebih mulia daripada peperangan dengan musuhmu?” Mereka menjawab: “Tentu kami mau.” Beliau meneruskan: “Yaitu dzikrullah.” (HR. At Tirmidzi : 3347)

Berbuat kebajikan dan menunjukkan pada perbuatan baik, “Setiap kebajikan merupakan sedekah dan orang yang menunjukkan kepada kebajikan mendapat pahala seperti orang yang melaksanakan kebaikan tersebut.” (HR. Al Bukhari 10/374, Muslim : 1005)

Dakwah kepada jalan Allah, “Barangsiapa mengajak kepada hidayah, maka baginya seperti pahala orang yang mengikuti ajakannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.” (HR. Muslim : 2674)

Amar ma’ruf nahi mungkar, “Barangsiapa melihat kemungkaran hendaknya dia mengubah-nya dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya dan apabila tidak mampu juga, maka dengan hatinya, yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim : 49)

Membaca Al Qur’an, “Bacalah Al Qur’an karena ia akan memberi syafa’at pada hari Kiamat bagi yang membacanya.” (HR. Muslim : 804)

Belajar Al Qur’an dan mengajarkannya, “Sebaik-baik orang di antara kamu adalah yang belajar Al Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Al Bukhari 9/66)

Memberi salam, “Kalian tidak akan masuk Surga hingga kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman hingga kalian saling menyayangi. Maukah kalian aku beritahu tentang suatu perbuatan yang jika kalian lakukan niscaya kalian saling menyayangi? Sebarkan salam di antara kalian.” (HR. Muslim : 54)

Cinta karena Allah, “Sesungguhnya Allah berfirman pada hari Kiamat: Manakah hambaKu yang saling mencintai karena keagunganKu, hari ini Aku menaunginya dalam naunganKu pada hari yang tiada naungan kecuali naunganKu.” (HR. Muslim : 2566)

Mengunjungi orang sakit, “Setiap muslim yang mengunjungi sesama muslim lain yang sakit pada pagi hari, niscaya ada tujuh puluh ribu malaikat mendoakannya hingga sore hari, jika ia mengun-junginya pada saat petang, niscaya ada tujuh puluh ribu malaikat mendoakannya hingga pagi hari, dan baginya buah-buahan di Surga.” (HR. At Tirmidzi : 969)

Menolong orang lain, “Barangsiapa memudah-kan orang yang sedang susah, niscaya Allah akan memudahkan baginya di dunia dan di akhirat.” (HR. Muslim : 2699)

Menjaga aib orang lain, “Bila seorang hamba menutupi aib hamba lain, niscaya Allah akan menutupi aibnya pada hari Kiamat.” HR. Muslim : 2590)

Silaturrahim, “rahim (persaudaraan) tergantung pada ‘Arsy, ia berkata: Barangsiapa menghubung-kanku, niscaya Allah akan menghubungkannya dan barangsiapa memutuskanku, niscaya Allah akan memutuskannya pula.” (HR. Al Bukhari 10/350, Muslim : 2555)

Akhlak mulia, “Yang paling banyak memasukkan ke dalam Surga adalah taqwa terhadap Allah dan akhlak mulia.” (HR. At Tirmidzi : 2003)

Kejujuran, “Hendaklah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran mengajak kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan mengajak kepada Surga.”(HR. Al Bukhari 10/423, Muslim : 2607)

Menahan amarah, “Barangsiapa menahan amarah padahal ia mampu melampiaskannya, niscaya Allah akan menyerunya pada seluruh makhluk pada hari Kiamat hingga ia diberi kesempatan memilih bidadari yang ia inginkan.” (HR. At Tirmidzi : 2022)

Kaffarah Majlis, “Barangsiapa duduk dalam suatu majlis yang banyak debatnya kemudian ia mengucapkan: (Maha suci Engkau ya Allah, dan dengan segala pujiMu, tiada Tuhan selain Engkau, aku memohon ampunan dan bertaubat kepadaMu) Niscaya Allah akan mengampunkan semua yang terjadi dalam majlis tersebut.” (HR. At Tirmidzi 3/153)

Kesabaran, “Jika seorang muslim tertimpa suatu musibah, cobaan, dirundung kesedihan, kesusahan atau ditimpa kesakitan, hingga tertusuk duri, dan ia bersabar, niscaya Allah akan menghapuskan darinya sebagian kesalahannya.” (HR. Al Bukhari 10/91)

Berbakti pada kedua orang tua, “Sungguh merugi, merugi dan merugi, orang yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satunya pada masa tua, namun ia tidak masuk Surga.” (HR. Muslim : 2551)

Membantu janda dan orang miskin, “Orang yang membantu janda dan orang miskin seperti orang yang berjuang di jalan Allah. Atau seperti orang yang memperbanyak shalat dan senantiasa berpuasa.” (HR. Al Bukhari 10/366)

Menanggung kehidupan anak yatim, “Saya dan orang yang menanggung anak yatim, nanti di Surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan dua jarinya; telunjuk dan tengah. (HR. Al Bukhari 10/365)

Berwudhu, “Barangsiapa berwudhu dengan baik, niscaya kesalahannya keluar dari tubuhnya, hingga keluar dari bawah kukunya.” (HR. Muslim : 245)

Syahadat setelah berwudhu, “Barangsiapa berwudhu dengan baik kemudian mengucapkan: (Saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang bertaubat dan golongan orang-orang yang mensucikan diri). Niscaya akan dibukakan baginya pintu Surga

Doa sesudah adzan, “Barangsiapa setelah mendengar adzan mengucapkan: (Ya Allah Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, dan shalat yang akan didirikan ini, berilah Muhammad wasilah dan keutamaan dan berilah ia tempat mulia yang Engkau janjikan). Niscaya ia mendapatkan syafa’atku pada hari Kiamat.” (HR. Al Bukhari 2/77)

Membangun masjid, “Barangsiapa membangun masjid hanya untuk mencari ridha Allah, niscaya akan dibangunkan sepertinya baginya di Surga.” (HR. Al Bukhari : 450)

Bersiwak, “Kalaulah tidak memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan untuk bersiwak setiap kali shalat.” HR. Al Bukhari 2/331, Muslim : 252)

Pergi ke masjid, “Barangsiapa pergi ke masjid di waktu pagi atau sore, niscaya Allah menyediakan baginya tempat di Surga setiap kali ia pergi ke masjid di waktu pagi maupun sore hari.” (HR. Al Bukhari 2/124, Muslim :669)

*******

 

 

 

Bila tiba saatnya kelak …,
kita menghadap ALLah Yang Perkasa.

Hanya ada satu harapan dan satu permintaan,
semoga kita menjadi penghuni surga.

Biarlah dunia jadi kenangan, juga langkah-langkah
kaki yang terseok, di sela dosa dan pertaubatan.

Hari ini.., semoga masih ada usia, untuk mengejar
surga itu, dengan amal-amal yang nyata :
“memperbaiki diri dan mengajak orang lain”

Rasulullah telah mengingatkan, “Barangsiapa yang
lambat amalnya, tidak akan dipercepat oleh
nasabnya.”

 

 

*******

 

ibadah_2

 

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. 51:56)

 

  1. A.   IBADAH DALAM ISLAM DAN SYARAT DITERIMANYA IBADAH

 

Ibadah menurut terminologi Islam adalah setiap aktivitas Muslim yang dilakukan ikhlash hanya karena Allah, penuh rasa cinta dan sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Islam memiliki konsep ibadah yang integral. Artinya ibadah dalam Islam tidak hanya sebatas yang berbentuk “syi’ar” yang utama yang tercantum dalam rukun Islam yang lima. Namun mencakup semua aktifitas yang terkait dengan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat, seperti dalam firman-Nya : “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah Robbul ‘alamin” (QS. 6: 162)

 

Bentuk lain dari integritas ibadah dalam Islam mencakup lisan, hati, pemikiran/aqal dan anggota tubuh lainnya, salah satu contohnya ialah ibadah sholat.

Disamping itu, ibadah dalam Islam harus dikerjakan dengan :

  1. Ikhlash, semata-mata mengharap ridha Allah SWT

Mereka tidak diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah, seraya mengikhlashkan diri-Nya dalam (menjalankan) islam., supaya mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah dien yang lurus.” (QS. 98: 5)

Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya amal-amal itu hanya tergantung kepada niatnya …”

  1. Mahabbah dan Thoat (penuh rasa cinta dan tunduk)

Dan diantara manusia ada yang menjadikan Ilah-Ilah tandingan selain Allah. Mereka mencintainya seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang benar-benar beriman, mereka lebih mencintai Allah …” (QS. 2 : 165)

QS. 9 : 24

  1. Sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW

Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, maka Allah pasti mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 3 : 31)

Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat” (al-hadits)

Barangsiapa mengerjakan suatu amal yang tidak menurut perintah kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim)

  1. Istiqomah

Hendaklah kamu istiqomah seperti yang diperintahkan.” (QS. 11 : 112)

  1. Iqtishod, artinya dilakukan berdasarkan fitrah, sesuai dengan kapasitas dan tidak memisahkan antara yang satu dengan yang lain.

Aisyah meriwayatkan : “Ketika Rasulullah SAW masuk ke rumahnya, disampingnya ada seorang wanita, Rasul bertanya, “Siapakah wanita itu?” Aisyah menjawab : “Fulanah” sambil menyebutkan shalat yang dilakukannya. Lalu Rasulullah brkata : “Jangan begitu!Kamu lakukan sesuai kemampuanmu. Demi Allah, Dia tidak akan bosan (memberimu ganjaran pahala) sehingga kamu bosan (melakukan ibadah). Ajaran Islam yang paling dicintai-Nya ialah yang dilakukan dengan konsisten.” (Muttafaqun ‘alaih)

  1. BUAH DARI IBADAH

 

Ibadah yang benar pasti melahirkan buah dan hasil yang dapat dirasakan di dunia dan juga di akhirat kelak. Diantaranya :

  1. Taqwa

Wahai manusia, beribadahlah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. 2 : 21)

  1. Terhindar dari perbuatan keji dan mungkar.

Bacalah apa yang diwahyukan kepadamu dari kitab itu. Dan tegakkanlah sholat, karena sholat itu mencegah dari praktek keji dan munkar, dan sesungguhnya mengingat Allah (dengan sholat) lebih besar (keutamaannya). Dan Allah mengetahui apa saja yang kamu kerjakan.”(QS. 29 : 45)

  1. Diri dan harta menjadi suci (tazkiyatun nafs)

Ambillah sebagian harta mereka sebagai zakat yang akan menyucikan diri mereka dan harta mereka dan berdo’alah untuk mereka, karena do’amu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. 9 : 103)

  1. Diri, fisik, dan psikis menjadi sehat.

Dan orang-orang yang beriman itu, hatinya menjadi tenang dengan berdzikir kepada Allah itu menyebabkan hati menjadi tenang.”(QS. 13 : 28)

Rasulullah SAW bersabda : “Berpuasalah kamu, kamu menjadi sehat.”

  1. Dimudahkan rezekinya dan anak keturunan menjadi banyak.

Maka Aku katakan kepada mereka, mohonlah ampun (istighfar) kepada Allah, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia menurunkan hujan kepadamu dengan lebat, membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan sungai-sungai.” (QS. 71 : 10-12)

  1. Meraih syurga dan dipelihara dari siksaan api neraka

QS. 3 : 15-17

 

Ibadah menurut pandangan Islam ialah sikap pasrah dan tunduk total kepada semua aturan Allah dan Rasul-Nya. Lebih dari itu ibadah dalam pandangan Islam merupakan refleksi syukur pada Allah SWTatas segala ni’matnya yang timbul dari dalam lubuk hati yang dalam dan didasari kepahaman yang benar. Pada gilirannya, ibadah tidak lagi dipandang semata-mata sebagai kewajiban yang memberatkan, melainkan suatu kebutuhan yang sangat diperlukan.

 

Sebab itu, tidak heran ketika Aisyah Ummul Mu’minin bertanya kepada Rasul yang sedang asyik beribadah di malam hari, sehingga kaki beliau terlihat membengkak. Padahal segala dosa beliau baik yang lalu maupun yang akan datang sudah diampuni Allah. Apa jawaban beliau? “Mengapa aku tidak menjadi hamba-Nya yang bersyukur”.

(Semoga kita termasuk ke dalam umatnya yang pandai bersyukur, ya …)

 

C.   NIAT YANG IKHLAS ADALAH DASAR PENERIMAAN AMAL

 

Meninggalkan amal karena manusia adalah ria, sedang beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas menyelamatkanmu dari kedua penyakit tersebut.”

Keberadaan niat harus disertai pembebasan dari segala keburukan, nafsu dan keduniaan, harus ikhlas karena Allah, agar amal-amal itu diterima di sisi Allah.

Al-Fudhail bin Iyadh berkata,”Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka dia tidak diterima, sehingga ia ikhlas dan benar. Yang ikhlas artinya amal itu dikerjakan karena Allah, dan yang benar jika amal itu dilakukan berdasarkan Sunah.”

 

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, “Perkataan tidak bermanfaat kecuali dengan amal. Perkataan dan amal tidak bermanfaat kecuali dengan niat. Perkataan, amal dan niat tidak bermanfaat kecuali sesuai dengan Sunnah.”

  Dari pembahasan diatas terlihat bahwa niat adalah ruh amal. Niat pula yang mengarahkan kemana amal akan ditujukan. Niat itu bergantung pada akidah dan nilai yang diyakininya. Selain itu pengetahuan, pemahaman, dan pengalamannya terhadap sesuatu juga mempengaruhi niat. Faktor lain yang juga tak kalah kuatnya adalah pengaruh dari lingkungan sekitar.

Apakah itu makna ikhlash? Ikhlash adalah jika pendorong iradahnya dalam hati berupa dorongan agama yang mampu menaklukan pendorong hawa nafsu, lebih mementingkan dan mengharapkan apa yang ada disisi Allah daripada apa yang ada di sisi manusia. (QS. 6 : 162-163)

Seorang Muslim yang ikhlash ketika beramal dalam dirinya hanya ada satu orientasi dan ghayah (tujuan) yaitu meniti jalan yang membawanya menuju kepada keridhoaan Allah. Seperti halnya seorang budak maka manusia yang ikhlas adalah budak yang memiliki satu tuan. Ia akan berusaha melakukan perbuatan yang membuat tuannya ridha dan menjauhi apa yang akan membuat tuannya murka. Amal yang dilakukan dengan keikhlasan akan berlangsung berkesinambungan karena keikhlasan akan memberikan kekuatan kepada seorang mukmin untuk terus beramal, pantang mundur dan tidak bermalas-malasan.

 

 

Ada beberapa unsur yang perlu diperhatikan oleh setiap manusia dalam membentuk keikhlasan, diantaranya :

  1. Hendaknya dalam diri seorang mukmin harus lahir sikap konsisten dan integral. Artinya ada kesesuaian antara apa yang ada dalam batinnya dengan yang tampak.
  2. Hendaknya ia menganggap sama antara pujian manusia dan celaan mereka.

Bagi orang yang ikhlas, pujian hanya pantas untuk Allah  saja, karena Dialah yang Maha Sempurna. Begitupun dengan celaan, bagi mereka celaan manusia akan tetap ada walaupun di sisi Allah mereka terpuji. Kita melihat bagaimana Rasul SAW tetap giat beramal dalam kondisi apappun dan berlaku baik pada semua orang baik yang mencelanya maupun yang memujinya.

  1. Tidak memandang amal ikhlasnya

Saat kita merasa diri kita sudah beramal dengan ikhlas saat itu pulalah akan muncul penyakit hati berupa ‘ujub (mengagumi diri sendiri), lebih jauh akan jatuh kepada takabbur.

Ada baiknya kita perhatikan kalimat dari Abu Ayyub as Susy,”Selagi mereka melihat ikhlasnya sudah cukup maka ikhlas mereka itu masih membutuhkan ikhlas lagi.”

  1. Tidak merasa aman dengan amalnya.

Dalam diri kita harus senantiasa hadir perasaan bahwa amal yang dilakukannya tidak sanggup menutupi ni’mat yang sudah diberikan oleh Allah SWT sekecil apapun ni’mat itu. Kita harus menyadari bahwa kesempatan untuk beramal hanya datang dari Allah.

  1. Khawatir akan menyusupnya riya’ dan hawa nafsu ke dalam jiwa, sementara dia tidak merasakannya.

Secara sadar kita harus mengetahui bahwa syaithan memiliki seribu macam cara untuk menggelincirkan manusia. Bila ia tidak mampu menggiring seorang mukmin kepada kedurhakaan perbuatan secara dzahir maka ia akan mencoba menyeretnya ke dalam kedurhakaan batin dari amal-amal yang dilakukan mukmin tersebut.

 

Orang-orang yang berilmu pasti akan binasa kecuali orang yang aktif beramal. Semua orang yang aktif beramal akan binasa kecuali yang ikhlas” (Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin)

 

Maroji’ :

  1. Diktat materi SMU
  2. Niat dan Ikhlas, Dr. Yusuf Al Qardhawy, Pustaka Al-Kautsar
  3. Majalah Al-Izzah, “ikhlas Membuang Benih Kemunafikan”, Juli 2001

 

ibadah_1

IBADAH Syarat Ibadah Secara etimologi ibadah berarti merendahkan diri serta tunduk. Di dalam syara’, ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Di antara definisi itu, ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang dhahir maupun yang batin. Dan ini adalah definisi ibadah yang paling lengkap. Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), rahbah (cemas) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, tahmid, takbir, dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, jihad, puasa adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan. Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi sangat Kokoh.” (Adz-Dzaariyat : 56 – 58). Allah memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah . Dan Allah Maha Kaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya; karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka mereka menyembah-Nya sesuai dengan aturan syari’at-Nya. Maka siapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang menyembahNya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkanNya maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan siapa yang hanya menyembahNya dan dengan syari’atNya, maka dia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah). Ayat di atas menegaskan, aktifitas 24 jam seorang muslim haruslah karena motivasi ibadah. Macam-macam Ibadah dan Keluasan Cakupannya Ibadah itu banyak macamnya. Ia mencakup semua macam keta’atan yang tampak pada lisan, anggota badan dan yang lahir dari hati. Seperti dzikir, tasbih, tahlil, dan membaca Al-Qur’an; shalat, zakat, puasa, haji, jihad, amar ma’ruf nahi mungkar, berbuat baik kepada kerabat, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil; cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, khasyyatullah (takut kepada Allah), inabah (kembali) kepadaNya, ikhlas kepadaNya, sabar terhadap hukumNya, ridha terhadap qadha’-Nya, tawakkal, mengharap nikmat-Nya dan takut dari siksaNya. Jadi, ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika diniatkan qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah. Bahkan adat kebiasaan yang mubah pun bernilai ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk ta’at kepada Allah. Seperti tidur, makan, minum, jual-beli, bekerja mencari nafkah, nikah dan sebagainya. Berbagai kebiasaan tersebut jika disertai niat baik (benar) maka menjadi bernilai ibadah yang berhak mendapatkan pahala. Karenanya, tidaklah ibadah itu terbatas hanya pada syi’ar-syi’ar yang biasa dikenal. Paham yang Salah tentang Pembatasan Ibadah Ibadah adalah perkara tauqifiyah. Artinya tidak ada suatu bentuk ibadah pun yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak), sebagaimana sabda Nabi saw, “Barangsiapa melaksanakan suatu amalan tidak atas perintah kami, maka ia ditolak.” (Muttafaq ‘alaih). Maksudnya, amalnya ditolak dan tidak diterima, bahkan ia berdosa karenanya, sebab amal tersebut adalah maksiat, bukan ta’at. Kemudian manhaj yang benar dalam pelaksanaan ibadah yang disyari’atkan adalah sikap pertengahan. Antara meremehkan dan malas dengan sikap ekstrim serta melampaui batas. Allah SWT berfirman kepada Nabi-Nya saw, “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang telah bertaubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.” (Huud : 112). Ayat Al-Qur’an ini adalah garis petunjuk bagi langkah manhaj yang benar dalam pelaksanaan ibadah. Yaitu dengan beristiqamah dalam melaksana-kan ibadah pada jalan tengah, tidak kurang atau lebih. Sesuai dengan petunjuk syari’at sebagaimana yang diperintahkan. Allah SWT berfirman, “Dan janganlah kamu melampaui batas.” (Huud : 112). Tughyan adalah melampaui batas dengan bersikap terlalu keras dan memaksakan kehendak serta mengada-ada. Ia lebih dikenal dengan ghuluw. Ketika Rasulullah saw mengetahui bahwa tiga orang dari shahabatnya melakukan ghuluw dalam ibadah, di mana seorang dari mereka berkata, “Saya puasa terus dan tidak berbuka,” dan yang kedua berkata, “Saya shalat terus dan tidak tidur,” lalu yang ketiga berkata, “Saya tidak menikahi wanita.” Maka beliau saw bersabda, “Adapun saya, maka saya berpuasa dan berbuka, saya shalat dan tidur, dan saya menikahi wanita. Maka barangsiapa tidak menyukai jejakku maka dia bukan dari (bagian atau golongan)ku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Ada dua golongan yang saling bertentangan dalam soal ibadah Golongan Pertama, Yang mengurangi makna ibadah serta meremehkan pelaksanaannya. Mereka meniadakan berbagai macam ibadah dan hanya melaksanakan ibadah-ibadah yang terbatas pada syi’ar-syi’ar tertentu dan sedikit, yang hanya diadakan di masjid-masjid saja. Tidak ada ibadah di kantor, di rumah, di toko, di bidang sosial, politik, juga tidak ada dalam peradilan kasus sengketa dan dalam perkara-perkara kehidupan lainnya. Memang masjid mempunyai keistimewaan dan harus dipergunakan dalam shalat fardhu lima waktu. Akan tetapi ibadah mencakup seluruh aspek kehidupan muslim, baik di masjid maupun di luar masjid. Golongan Kedua, Yang bersikap berlebih-lebihan dalam praktek ibadah sampai batas ekstrim; yang sunnah mereka angkat sampai menjadi wajib, sebagaimana yang mubah mereka angkat menjadi haram. Mereka menghukumi sesat dan salah orang yang menyalahi manhaj mereka, serta menyalahkan pemahaman-pemahaman lain. Padahal sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi saw dan seburuk-buruk perkara adalah yang bid’ah. Syarat Diterimanya Ibadah Lalu, agar bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak benar kecuali dengan dua syarat: Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil. Dalilnya adalah firman Allah SWT, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ibadah (ikhlas) kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (Al-Bayyinah : 5). Sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalilnya adalah sabda Rasulullah, “Barangsiapa mengada-adakan (suatu hal yang baru) dalam urusan (agama) kami, yang bukan merupakan ajarannya maka akan ditolak.” (Muttafaq ‘alaih). Syarat pertama adalah konsekwensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya untuk Allah Y dan jauh dari syirik kepada-Nya. Dan syarat kedua adalah konsekwensi dari syahadat Muhammadur Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya ta’at kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan. Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pokok yaitu kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan kita tidak menyembah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah.” Sebagaimana Allah SWT berfirman, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhan-Nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi : 110). Amal Yang Dicintai Allah Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, aku bertanya kepada Rasulullah saw, “Amal apa yang paling dicintai Allah Azza Wajalla?, beliau menjawab, “Shalat tepat pada waktunya”. Aku bertanya, kemudian apa lagi?, beliau menjawab, “Berbuat baik terhadap kedua orangtua”. Aku bertanya, kemudian apa lagi?, beliau menjawab: “Jihad fi sabilillah”. Ia berkata, Demikian Rasulullah saw mengabarkannya kepadaku, seandainya aku meminta tambahan, niscaya beliau menambahkannya”. (HR. Bukhari dan Muslim) Hadis di atas menjelaskan kedudukan dan tingkatan amal di sisi Allah Ta’ala. Amal yang dimaksud oleh hadis itu adalah amal badani (kasat mata), sebab amal yang afdhal (paling utama) dan paling dicintai Allah adalah beriman kepada-Nya, hal ini berdasarkan hadis Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya seseorang telah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Amal apakah yang paling afdhal?, beliau menjawab,”Iman kepada Allah dan Rasul Nya”. Ditanyakan, kemudian apa lagi?, beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah”. Ditanyakan, lalu apa lagi?, beliau menjawab, “Haji mabrur”. Dengan demikian, kedua hadis yang menerangkan amal paling afdhal tersebut tidak bertentangan, sebab masing-masing berdiri menurut konteksnya. Perlu diketahui pula, ada beberapa hadis yang menerangkan keutamaan amal akan tetapi tidak sama urutannya dengan hadis di atas. Untuk mendudukkan hal tersebut, Ibnu Hajar berkomentar, “Dalam menjelaskan perbedaan jawaban Rasulullah ketika ditanya tentang amal yang paling utama, para ulama menerangkan, bahwasanya perbedaan jawaban tersebut berdasarkan perbedaan kondisi para sahabat yang bertanya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengajarkan kepada setiap kaum sesuai dengan apa yang mereka perlukan dan sukai. Jihad misalnya, pada permulaan Islam adalah amal yang paling utama, sebab jihad merupakan wasilah untuk melakukan berbagai amal tersebut. Disamping itu, banyak nash-nash yang menjelaskan bahwa shalat lebih afdhal daripada zakat, tetapi dalam kondisi sangat dibutuhkan dan genting, zakat bisa menjadi lebih utama”. Di antara dalil yang menguatkan bahwa terdapat derajat dan tingkatan amal di sisi Allah adalah sabda Rasulullah, “Iman itu ada 73 cabang, yang paling tinggi adalah kalimah La Ilaha Illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan, dan malu adalah termasuk cabang dari iman”. Hadis yang sedang kita bahas ini juga menguatkan adanya sifat cinta bagi Allah. Dalam hal ini aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah lah yang menetapkan sifat-sifat bagi Allah secara haqiqi (bukan majazi), seperti apa yang ditetapkan oleh Allah terhadap diri-Nya sendiri. Di dalam Al-Qur’an terdapat 43 kali sifat cinta yang dinisbatkan kepada Allah Ta’ala, di antaranya adalah, “… dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. (Al Baqarah: 195). “… sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal”. (Ali- Imran:159). “… maka sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa”. (Ali Imran: 76). “… sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil”. (Al Maidah: 42) dan lain sebagainya. Sebagai bentuk keadilan Allah, maka Dia tidak mencintai orang-orang kafir (30: 45) para pemboros (7: 31), orang-orang yang melampaui batas (7: 55), para perusak (28: 77), orang-orang yang dzalim (42: 40) dan lain-lain. Disamping itu, banyak hadis yang menegaskan bahwa Allah memiliki sifat cinta. Di antaranya hadis dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata kepada Abdullah bin Qais, “Engkau mempunyai dua sifat yang di cintai Allah yaitu penyayang dan sabar”. (HR. Muslim) Meskipun kita mengetahui bahwa Allah memiliki sifat cinta, tetapi tidak dibenarkan mempertanyakan bagaimana wujudnya, sebab jawabannya di luar batas pengetahuan manusia, demikian pula halnya dengan sifat-sifat Allah yang lain. Keutamaan suatu amal atas amal yang lain sebagaimana penjelasan hadis di muka, memang disebabkan bahwa amal tersebut lebih utama menurut asalnya.Tetapi keutamaan amal itu atas lainnya terkadang bergeser disebabkan sesuatu hal, seperti oleh perubahan waktu dan keadaan. Banyak contoh yang bisa menjelaskan hal ini. Bertasbih dan menyucikan Allah misalnya, ia lebih utama daripada istighfar (memohon ampunan kepada Allah), tetapi pada saat jiwa bergetar hebat karena perasaan dosa, maka istighfar lebih utama. Bahkan terkadang suatu amal yang utama menjadi makruh karena perbedaan situasi dan kondisi, seperti bau mulut. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membenci mulut yang berbau ketika berada di tengah masa, tetapi pada saat lain beliau bersabda, “Sungguh… bau mulut orang yang sedang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada aroma minyak kasturi”. (Al Hadis) Demikian pula dengan rendah hati kepada sesama muslim, ia merupakan hal yang utama sebab Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri. Tetapi sombong dan membanggakan diri ketika menghadapi musuh dan untuk menghinggapkan rasa takut di hatinya, adalah termasuk hal yang utama. Dalam masalah yang penting ini, Ibnul Qayyim menjelaskan, “Membaca Al Qur’an lebih utama daripada dzikir, sedangkan dzikir lebih utama daripada do’a,” jika masing-masing dipandang secara berdiri sendiri. Tetapi amal yang lebih rendah keutamaannya terkadang bisa menggeser kedudukan amal yang lebih afdhal darinya, hal itu seperti bertasbih dalam ruku’ dan sujud. Bertasbih ketika ruku’ dan sujud lebih utama daripada membaca Al Qur’an pada keduanya, bahkan membaca Al Qur’an ketika ruku’ dan sujud justru dilarang. Demikian pula bertasbih setelah selesai shalat lebih utama daripada membaca Al Qur’an pada waktu yang sama, menjawab azan dan menirukan ucapan muazin adalah lebih utama daripada membaca Al Qur’an meskipun kita mengetahui, bahwa Al Qur’an lebih utama atas semua perkataan manusia sebagaimana keutamaan Allah atas segenap makhluk-Nya, tetapi masing-masing ungkapan dan ucapan terdapat maqam dan tempatnya sendiri-sendiri. Jika pada suatu maqam dan keadaan terdapat ungkapan dan perkataan khusus tetapi justru ia mengeluarkan ungkapan dan perkataaan yang lain maka hikmah dan maslahah yang dicari menjadi hilang dan tidak berpihak kepadanya. Hal lain seperti orang yang melalaikan membaca Al Qur’an dan zikir, karena ketika melakukan keduanya ia tidak bisa khusyu’, kemudian ia berdo’a dan hatinya bisa penuh tunduk dan khusyu’ hanya kepada Allah, maka ketika itu do’a lebih bermafaat bagi dirinya meski secara asal, membaca Al Qur’an dan zikir lebih utama dan lebih besar pahalanya daripada ber-do’a. Dan tentu berbeda antara keutamaan sesuatu yang sejak awal memang melekat pada dirinya dengan keutamaan sesuatu karena sebab-sebab luar, masing-masing mesti diberi sesuai dengan haknya. Segala sesuatu harus ditempatkan pas pada tempatnya. Termasuk dalam bab ini adalah bahwa surat Al Ikhlas sama dengan sepertiga Al Qur’an. Meskipun demikian, surat tersebut tidak menyamai ayat-ayat mawaris, thalaq, khulu’ dan lainnya pada saat ayat-ayat tersebut diperlukan. Ayat-ayat tersebut tentu lebih bermanfaat daripada membaca surat Al Ikhlas. Hal-hal seperti inilah yang seyogya-nya diketahui oleh setiap muslim dalam masalah keutamaan amal, sehingga ia tidak melalaikan amal yang kurang utama karena mengejar amal yang utama. Jika demikian maka iblislah yang beruntung merenggut keutamaan itu”. Pentingnya shalat tepat pada waktunya. Yang dimaksud shalat disini adalah shalat fardhu (wajib). Shalat amat agung fadhilah dan pahalanya, ia merupakan rukun Islam yang kedua setelah syahadat. Shalat adalah tiang agama, agama tidak akan bisa tegak berdiri kecuali dengan menegakkan dan mendirikan shalat. Allah berfirman, “… dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar”. (Al Ankabut: 45) Jika suatu umat menegakkan shalat maka mereka akan ditunjuki pada jalan kebaikan dan akan hilang kekejian dan kemunkaran dari mereka. Perintah mendirikan shalat dan menjaganya banyak kita dapatkan dalam Al Qur’an, seperti dalam 2: 238, 5: 12, 11: 114, 17: 78, 20: 14, 31: 17 dan banyak lagi yang lainnya. Bagi laki-laki hendaknya memelihara dan melakukan shalat dengan berjamaah di masjid. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda, “Barangsiapa mendengar azan tetapi tidak mendatangi (memenuhi panggilan itu) maka tiada shalat baginya, kecuali karena ada uzur”. (Al Hadis) Perintah mendirikan shalat dengan berjamaah atas kaum laki-laki, juga berdasarkan hadis riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu yang menceritakan seorang buta yang memohon keringanan dari Nabi untuk tidak berjamaah karena tiada seorangpun yang menuntunnya ke masjid, namun ketika ia mengaku mendengar azan lantas Nabi mencabut keringanan itu kembali. Shalat adalah termasuk pelebur dosa yang paling agung. Dari Abu Hurairah, ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Tahukah kalian, jika di depan pintu salah seorang kalian terdapat sungai lalu ia mandi di dalamnya lima kali setiap hari, apakah masih tersisa kotoran daripada-nya?” Mereka menjawab, “Tidak akan tersisa sedikitpun kotoran dari padanya”. “Sesungguhnya para munafik itu menipu Allah, dan Allah membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (An Nisa: 142) Besok pada hari kiamat, shalat adalah amal yang pertamakali dihisab. Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal seseorang yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, maka ia benar-benar beruntung dan berhasil, tetapi jika shalatnya rusak maka ia benar-benar merugi. Jika dari shalat fardhunya ada sesuatu yang kurang maka Allah berfirman, “Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah, sehingga dengannya shalat fardhunya disempurnakan?. Kemudian seluruh amalnya (baru) dihisab”. (HR. Turmudzi) dari: (Disarikan dari risalah Ahabbul A’mal)